Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Walking Home

Sejak tarif ojek naik hingga 60%, saya memacu diri untuk kembali berjalan kaki saat berangkat dan pulang kerja. Kembali melintasi jalan-jalan sempit yang gelap dan sekali waktu ketemu hantu.

Dibandingkan dengan hantu, yang membuat saya resah adalah gerombolan anak-anak nongkrong. Mereka mengganggu orang lewat, terutama perempuan. Bahkan yang umurnya lebih tua dari mereka. Dari postur tubuh dan warna suara, saya bisa tau kalau mereka paling banter baru sma. Kebanyakan smp. Dengan rokok melinting di tangan.

Saya paling tidak bisa toleran dengan perokok di bawah umur. Satu lagi yang membuat saya resah adalah ditiap titik nongkrong pasti ada satu sampai tiga ada perempuan. Dengan kaos ketat dan hotpants. Membiarkan diri terekspos dan terjamah tangan lelaki di sekitarnya. Saya bertanya, mana orang tuanya?

Mau tak mau sejak kecil saya tinggal di lingkungan anak nongkrong ini. Seperti kebanyakan lapak, ada satu sosok yang dianggap tetua. Persis film gangster Hongkong yang sering saya tonton, tetua ini digandrungi remaja. Anak laki-laki ingin jadi seperti dia. Anak perempuan ingin dekat dengannya.

Suatu hari ketika masih berseragam merah putih, saya berpapasan dengannya dan kami jalan beriringan. Salahkan korteks otak saya kalau masih ingat bagaimana ia berujar pada temannya: gue nyari pechun, dapet yang kecil. Sambil merujuk pada saya.

Bertahun-tahun saya menjalani mimpi saya dan para anak nongkrong satu persatu menjadi seperti pendahulu mereka, pecundang. Termasuk si abang tetua. Kami masih sering berpapasan dan ia masih menegur saya untuk diajak nongkrong bareng. Saat bicara, masih selalu ada anak perempuan salah tingkah di bawah lengannya.

Kamu mungkin naik darah dan bilang apa salahnya pake kaos ketat dan hotpants? Tidak pernah salah. Benda tidak pernah salah. Yang salah adalah sikap kamu saat mengenakan pakaian tersebut. Yang membuat saya memandang resah anak-anak perempuan ini adalah mereka membungkus tubuh mereka tanpa harga diri. Orang boleh melihat, berimajinasi bahkan menyentuh tubuh mereka.

Yang membuat saya resah adalah gerombolan anak laki-laki yang mengasapi organ tubuh mereka sejak dini. Yang membuat saya resah adalah orang tua yang entah berada dimana, baik sosok maupun kepeduliannya.

Kamu mungkin berucap tidak semua orang senang sendirian seperti saya. Kamu harus tau, saya paling pintar melihat teman. Teman mana yang cukup dikenal dan teman mana yang harus disimpan. Ini off the record, saya sejak kecil sudah berjuang keras untuk keluar dari lingkungan ini. Kamu boleh bilang saya social climber, tapi tidak ada orang lain yang saya injak ketika saya mendaki.

Saya resah, bukan hanya karena anak nongkrong ini mengganggu pemandangan dan kenyamanan. Namun lebih kepada khawatir akan masa depan mereka. Jika mereka tidak berubah, saya bisa memberitau kamu sekarang, akan jadi apa anak-anak itu 10 tahun lagi. Itupun kalau mereka belum mati gara-gara overdosis.

Dan si abang tetua ini, kamu tidak akan tetap muda dengan terus nongkrong bareng anak-anak sma.

Comments