Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Double Standart

Nggak, gue gak mau bahas soal feminisme. Ini sebenarnya mau berbagi soal standar gaya hidup. Di balik alam sadar kita, mungkin ada bagian otak yang menyadari kalau gaya hidup kita berubah, standarnya meningkat (atau menurun), dan ini secara langsung berpengaruh pada pola perilaku kita.
Jadi, sejak kebagian nulis review restoran bertahun-tahun lamanya, gue mulai sadar akan satu hal ini: gue semakin picky dalam hal tempat makan. Bahkan untuk urusan convenience store pun gue gak bisa asal dapet. Padahal dari kecil, emak gue udah mengakui kalau gue termasuk yang pilah pilih urusan makanan.
Gue sendiri baru menyadari kemarin selama di Jogja. Iya gue udah dapet banyak wanti-wanti supaya nyoba makan di angkringan dan lesehan. Tapi somehow gue gak bisa. Bahkan mendekatinya aja rasanya segan. Lalu yang paling klimaks, gue gak bisa makan gorengan abang-abang. Nyium baunya dan liat penampakannya pun bikin gue bergidik. Walau gue pernah merasakan enaknya makanan gak sehat itu.
Selain makanan, standar lain yang meningkat adalah outfit. Dulu gue cuma pake tas dan sepatu satu untuk selamanya. Kalau belum rusak parah gak bakal ganti. Sekarang, dengan banyaknya acara yang harus dihadiri, terpaksa punya sepatu ke pesta, sepatu hura-hura, sepatu berkebun, sepatu dan sepatu yang hanya dipakai gak sampe setahun sekali.

Lalu teman-teman. Entah bagaimana, sejak SD gue selalu bisa berempati dan sharing dengan teman-teman dari berbagai kalangan. Bertenggang rasa serta mengerti kalau nggak semua orang berpikiran sama dengan gue akan sebuah masalah. Makin gede, teman-teman gue makin sempit. Pergaulan luas, tapi homogen. Anak-anak media lifestyle. Otomatis bahasan dan gosip dan cara pandangnya akan masalah, mirip.
Ada masanya gue kangen berseloroh dengan abang-abang tukang potong rumput dan mbak mbak kantin di FISIP UI, abang tukang pempek yang mirip ariel, ob dan supir konyol di pantry ruko 2c. Segalanya yang membuat gue bisa melihat masalah nggak hanya dari satu sisi. Mendengarkan bagaimana tv sangat menghibur mereka, bagaimana ump 2,2 tetap terasa kurang, bagaimana agama sangat menjadi candu.
Gue yang selalu bilang bagian dari kaum proletar, kok gaya hidupnya nyaingin mereka yang terlahir borju. Padahal pendapatan masih di garis ump Jakarta. Tentu saja gue bisa menyalahkan semua itu pada pergaulan gue. Bahkan gue yang loner dan cenderung sociopath pun tetap terkungkung oleh bagaimana lingkungan menuntut gue untuk bersikap.
Gue kangen bisa melebur ke berbagai lapisan sosial. Masalahnya, gue waktu buat tidur aja kurang. Gimana mau bersosialisasi?