Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Senja di Kowloon


Minggu sore di pinggir Pulau Kowloon, lagi-lagi saya memisahkan diri dari rombongan. Entahlah, mungkin baterai sosialisasi saya mulai habis dan butuh diisi ulang dengan berjalan sendirian. Sebelum gelap di Star Avenue, saya sudah mengambil gambar beberapa bintang aksi Hong Kong yang jadi kesukaan saya jaman kecil. Kamu tahu, Andy Lau dari Kembalinya Pendekar Rajawali; Simon Yam, oom-oom favorit saya; Eric Tsang dengan senyumannya yang paling mempesona. Lalu juga beberapa aktor lainnya.

Tumbuh besar dengan film aksi Hong Kong sempat beberapa kali membuat saya kabur dari rumah. Dan saya beneran kabur dari rumah dalam artian bolos sekolah dan kabur main dingdong atau nongkrong di Gramedia Blok M. Rasanya kebebasan macam itu yang saya cari. Bisa seenaknya menjalani hidup tanpa perlu sekolah atau bekerja. Berkelahi jika ada yang mengganggu suasana hati dan punya pacar sekeren Ekin Cheng. Begitulah kehidupan dambaan saya saat SMP dulu. Semua karena film aksi Hong Kong yang diputar di tivi.

Star Avenue mulai ramai oleh turis yang hendak menyaksikan Symphony of Light. Saya tidak begitu antusias toh hari sebelumnya sudah lebih dulu menikmati permainan lampu kota Hong Kong dari ketinggian Victoria Peak. Saat asik bengong-bengong sok menikmati suasana Hong Kong, saya dihampiri penduduk Indonesia yang minta tolong diambilkan gambar. Sebelum mereka berbicara banyak, saya langsung memotong: ‘saya nggak bisa bahasa Jawa’. Baru kali ini saya menyesal nggak bisa ngomong bahasa daerah. Apa sebaiknya saya les bahasa daerah saja daripada bahasa asing?




Penantian menonton Symphony of Light masih panjang. Star Avenue mulai ramai dan saya khawatir tidak bisa menemukan teman perjalanan. Selama pengembaraan ini entah sudah berapa kali saya membuat mereka senewen karena selalu berkeliaran sendirian. Tapi mereka selalu bisa menemukan saya. Anak aneh berjalan celingukan dengan kamera di tangan, lebih gampang dicari ketimbang saya mencari mereka di tengah keramaian.

Dan pertunjukan pun dimulai. Dan selesai. Penantian dari jam 4 sore waktu Hong Kong berakhir dengan ‘Begitu doang? Kenapa blogger-blogger nulis panjang dan berbunga-bunga soal Symphony of Light?’. Ini sih gak jauh beda dengan permainan laser Trans TV yang saya lihat dari halaman belakang rumah. Sama-sama gratis. Kalau ada nilai plusnya, justru temaram senja di Star Avenue. Sumpah yah, di bagian mana Jakarta saya bisa menemukan ini? Jadi yah, saat kamu ke Hong Kong dan punya waktu lowong, boleh lah menunggu senja di sini.