Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

All Eyes On You

I'm not good looking. Ini bukan masalah besar jika saja saya tidak terus terpapar dunia media. Kamu tau, bagaimana majalah fashion mana pun enggan memuat model-model plus-size. Maka ketika si fotografer flamboyan menyatakan saya harus memperbaiki penampilan, saya langsung defensif.

'Gue mau orang menilai gue bukan dari rupa, gaya, dan merek. Gue ingin orang melihat otak gue, hati gue dan tingkah laku.'

Ah, berapa umur saya? Masih saya bersikap naif terhadap dunia. Saya paham, tentu saja, bagaimana kita menilai penampilan dulu baru berkenalan. Melihat pada apa yang dikenakan, ponsel yang dibawa hingga kendaraan yang digunakan. Baru memutuskan apakah orang ini satu kelompok dengan kita?

Maka backpacker akan berkerumun dengan backpacker. Fotografer berdiri bersama fotografer. Pencari berita riuh bersama pencari berita. Dan model, berada bersama para model. Karena dalam diam kita selalu menyelaraskan diri agar bisa diterima.

Saya partikel bebas. Saya dapat menggamit ruang dimana pun. Namun tetap terasa canggung. Saya di sana, menenteng ransel bercengkrama dengan penduduk sekitar. Juga di sana, membidikkan kamera mencari angle yang tepat. Lebih sering di sana, menajamkan mata dan telinga untuk mendapat sedikit berita. Lalu ketika semua berlalu, saya tidak ada dimana-mana. Tidak mengenakan seragam yang sama.

Sekarang, ternyata tidak hanya penampilan yang harus diseragamkan, tapi juga pemikiran. Adalah wajar jika kita menganggap pemikiran dan pengalaman kita merupakan sesuatu yang valid dan karenanya patut dicontoh orang. Tidak masalah misalkan kita menyampaikannya dengan persuasif. Atau jika kamu dalam tataran yang lain, manipulatif.

Masalah muncul saat kita menempatkan orang lain dalam dunia kita yang kecil. Memaksa mereka memandang dari jendela kita. Sementara mereka tidak memiliki pengalaman yang sama dengan kita. Lebih bermasalah lagi jika kita melakukannya pada sosok-sosok tak berwajah di media sosial. Sungguh tidak sebanding dengan ketenangan hati diri sendiri.

Saya sudah lama berdamai dengan kalimat 'Nggak semua orang berpikir kayak elu, Shinta!'. Sudah tidak lagi memaksakan dunia ideal dari kacamata saya. Kita perlu berulang kali mengingat, setiap orang yang kita temui, nyata atau maya, memiliki pengalaman hidupnya masing-masing yang lantas membentuk pemikiran dan kepribadiannya. Berpegangan dengan ini, maka kamu tidak akan merasa ada perlunya untuk selalu mengoreksi. Kecuali kamu grammar nazi.