Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

Stubborn Love

Tunggu, saya tidak yakin rasa ini valid. Apakah saya ingin bersamanya karena reaksi kimia di otak membentuk kata cinta, atau karena ia segala yang saya ingin menjadi. Benar, saya punya kecenderungan itu, ingin menjadi seperti dirinya, caranya berpakaian, berjalan, berbicara, berpikir, tertawa. Terutama tertawa. Saya ingin semua itu. Saya ingin kami melebur hingga saya dapat merasakan passion-nya, perjalanannya, pola sikapnya. Hingga saya tak perlu bertanya, tertarikkah ia pada orang macam saya?

Karena cinta terlalu memusingkan bagi saya. Emosi berlebihan yang menekan syaraf otak, membuatnya berdenyut lebih sering, mengambil semua asupan oksigen dalam darah hingga jantung terasa sesak. Karena cinta tak pernah memihak saya, berulang kali kami bergumul dan saya selalu kalah. Cinta tak pernah salah, dan ia tak pernah untuk saya. Maka saya harap ini bukan cinta. Atau saya harap ini bisa menjadi nyata.

Cinta saya terasa gila dan prematur. Bagaimana bisa, ia mungkin bertanya. Saya tau jawabnya, saya selalu punya jawaban. Hanya kadang saya memilih untuk tidak menjawab. Oh, kali ini saya akan menjawab. Bagaimana bisa? Karena kamu berada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Kamu memperlakukan saya layaknya perempuan. Kamu 'memaksa' saya tampak lemah. Kamu membuat saya ingin menetap. Dalam waktu dan tempat yang salah, mungkin kah saya bisa menjadikannya benar?

Mungkin saja, kamu hanyalah asupan otak untuk melahirkan kata. Karena kata selalu bermunculan saat saya jatuh cinta. Namun kali ini saya ingin membuatnya nyata. Inginnya berhadapan dengan mu dan berkata, apakah benar jika saya jatuh cinta pada mu? Ataukah, cinta ini juga tidak bisa menjadi cerita. Maka harus diakhiri sebelum berbunga. Haruskah saya merasa bersalah karena jatuh cinta (padamu)? Jika iya, alangkah baiknya kita berucap sebelum senja. Sebelum pucuk berbunga lalu terjatuh karena luka.

Hallo, saya sepertinya jatuh cinta padamu. Sungguh.

Comments

  1. Ajak saja dia untuk duduk-duduk di kedai kopi dan berbincang tentang kemungkinan saling mencintai..
    Sesimple itu..? Iya,, Sesimple itu.. :)

    ReplyDelete

Post a Comment