Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Stubborn Love

Tunggu, saya tidak yakin rasa ini valid. Apakah saya ingin bersamanya karena reaksi kimia di otak membentuk kata cinta, atau karena ia segala yang saya ingin menjadi. Benar, saya punya kecenderungan itu, ingin menjadi seperti dirinya, caranya berpakaian, berjalan, berbicara, berpikir, tertawa. Terutama tertawa. Saya ingin semua itu. Saya ingin kami melebur hingga saya dapat merasakan passion-nya, perjalanannya, pola sikapnya. Hingga saya tak perlu bertanya, tertarikkah ia pada orang macam saya?

Karena cinta terlalu memusingkan bagi saya. Emosi berlebihan yang menekan syaraf otak, membuatnya berdenyut lebih sering, mengambil semua asupan oksigen dalam darah hingga jantung terasa sesak. Karena cinta tak pernah memihak saya, berulang kali kami bergumul dan saya selalu kalah. Cinta tak pernah salah, dan ia tak pernah untuk saya. Maka saya harap ini bukan cinta. Atau saya harap ini bisa menjadi nyata.

Cinta saya terasa gila dan prematur. Bagaimana bisa, ia mungkin bertanya. Saya tau jawabnya, saya selalu punya jawaban. Hanya kadang saya memilih untuk tidak menjawab. Oh, kali ini saya akan menjawab. Bagaimana bisa? Karena kamu berada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Kamu memperlakukan saya layaknya perempuan. Kamu 'memaksa' saya tampak lemah. Kamu membuat saya ingin menetap. Dalam waktu dan tempat yang salah, mungkin kah saya bisa menjadikannya benar?

Mungkin saja, kamu hanyalah asupan otak untuk melahirkan kata. Karena kata selalu bermunculan saat saya jatuh cinta. Namun kali ini saya ingin membuatnya nyata. Inginnya berhadapan dengan mu dan berkata, apakah benar jika saya jatuh cinta pada mu? Ataukah, cinta ini juga tidak bisa menjadi cerita. Maka harus diakhiri sebelum berbunga. Haruskah saya merasa bersalah karena jatuh cinta (padamu)? Jika iya, alangkah baiknya kita berucap sebelum senja. Sebelum pucuk berbunga lalu terjatuh karena luka.

Hallo, saya sepertinya jatuh cinta padamu. Sungguh.

Comments

  1. Ajak saja dia untuk duduk-duduk di kedai kopi dan berbincang tentang kemungkinan saling mencintai..
    Sesimple itu..? Iya,, Sesimple itu.. :)

    ReplyDelete

Post a Comment