Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

lluvia #21

Saya melihat perempuan itu lagi. Bedanya ia sudah ahli menyunggingkan senyum menutupi perih di dadanya. Saya mendekat untuk menyapa.
'hari ini hujan,' ujarnya. Iya, sore ini memang hujan. Tepat saat kami berpapasan di tepi jalan.
'boleh kamu sampaikan pada dia, saat ini saya merindunya.' tanpa sadar tangan kanannya meraba dada. Masih terasa sesak.
'katanya, orang yang tidak bisa menangis itu adalah orang yang lemah.' ucapnya lagi, 'saya merasa lemah saat merinduinya. demikian lemah hingga tak berdaya mengeluarkan air mata.'

Kami duduk berdampingan. Menunggu hujan reda. Menunggu airmatanya luruh. Menunggu lelakinya bicara. Menunggu entah apa.

Ia tidak bicara lagi. Airmata memenuhi rongga dadanya. Untuk lelaki yang menciptakan rindu.

'kamu, saya rindu.' ucapnya lirih.

Comments