Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

lluvia #19

'Aku bisa membantumu melupakan dia,' ujar seorang pemuda yang sedari tadi duduk di depanku. Kening ku berkerut mendengarnya. Siapa yang mau dilupakan? Ah, yah. tentu saja, lelaki itu. Kecintaanku.

'Sudah terlalu lama kamu menatapi hujan, menyimpan banyak pertanyaan tanpa jawaban. Pesan-pesan tak terbalas. Tidak bisakah kamu melihat padaku?' ucapnya lagi. Deja vu. Rasanya belum lama aku bertemu pemuda lain yang mengatakan sanggup mengusir lelaki itu dari hatiku, dari otakku. Tidak, ia tidak berhasil, meninggalkanku dalam kelabu.

'Tidak,' jawabku. 'Bukan karena lelaki itu, tapi karena aku tidak bisa bersama mu. Aku tidak bisa memalsukan diri,' seperti lelaki itu, sambungku dalam hati. 'Jika aku menginginkanmu, aku hanya menginginkanmu. Segalanya, waktu, pikiran, perhatian mu adalah milik ku. Kamu tidak akan tahan dengan aku yang seperti itu.'

'Aku bisa tahan,' ia bersikeras.

'Tidak. Aku yang tidak tahan, aku tidak menyukai versi diriku yang itu. Membuatku menderita tapi tidak bisa lepas,' tandasku.

'Seperti sekarang?'

'Seperti sekarang.'

Kursi yang ia duduki bergeser saat ia bangkit. 'Kenapa tidak kau biarkan dirimu mencoba mencari bahagia?' tanyanya seraya berlalu pergi.

'Karena aku meletakkan kebahagiaanku di tangan yang salah. Sebuah tangan yang tampak begitu mulia hingga aku memujanya. Tangan yang dalam waktu mudanya pernah memelukku erat, menggenggamku kuat, dan menyapukan belaian di atas pipiku,' desahku walau pemuda itu tak lagi mendengar.

Aku masih bisa melihatnya berdiri di teras depan, menatapi hujan sebelum akhirnya ia berlari. Membiarkan hujan membasuh sakit di hatinya. Aku bertahan di kursi ku, berharap entah apa, pada lelaki yang menyakiti hati.