Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

lluvia #19

'Aku bisa membantumu melupakan dia,' ujar seorang pemuda yang sedari tadi duduk di depanku. Kening ku berkerut mendengarnya. Siapa yang mau dilupakan? Ah, yah. tentu saja, lelaki itu. Kecintaanku.

'Sudah terlalu lama kamu menatapi hujan, menyimpan banyak pertanyaan tanpa jawaban. Pesan-pesan tak terbalas. Tidak bisakah kamu melihat padaku?' ucapnya lagi. Deja vu. Rasanya belum lama aku bertemu pemuda lain yang mengatakan sanggup mengusir lelaki itu dari hatiku, dari otakku. Tidak, ia tidak berhasil, meninggalkanku dalam kelabu.

'Tidak,' jawabku. 'Bukan karena lelaki itu, tapi karena aku tidak bisa bersama mu. Aku tidak bisa memalsukan diri,' seperti lelaki itu, sambungku dalam hati. 'Jika aku menginginkanmu, aku hanya menginginkanmu. Segalanya, waktu, pikiran, perhatian mu adalah milik ku. Kamu tidak akan tahan dengan aku yang seperti itu.'

'Aku bisa tahan,' ia bersikeras.

'Tidak. Aku yang tidak tahan, aku tidak menyukai versi diriku yang itu. Membuatku menderita tapi tidak bisa lepas,' tandasku.

'Seperti sekarang?'

'Seperti sekarang.'

Kursi yang ia duduki bergeser saat ia bangkit. 'Kenapa tidak kau biarkan dirimu mencoba mencari bahagia?' tanyanya seraya berlalu pergi.

'Karena aku meletakkan kebahagiaanku di tangan yang salah. Sebuah tangan yang tampak begitu mulia hingga aku memujanya. Tangan yang dalam waktu mudanya pernah memelukku erat, menggenggamku kuat, dan menyapukan belaian di atas pipiku,' desahku walau pemuda itu tak lagi mendengar.

Aku masih bisa melihatnya berdiri di teras depan, menatapi hujan sebelum akhirnya ia berlari. Membiarkan hujan membasuh sakit di hatinya. Aku bertahan di kursi ku, berharap entah apa, pada lelaki yang menyakiti hati.