Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

Keep Moving On

'Gue nggak sanggup, gue nggak mau,' begitu kadang gue berpikir saat harus menyelesaikan masalah. Karena, sering kali masalah nggak bisa diselesaikan. Hubungan nggak bisa diperbaiki. Namun tetap ada beberapa hal yang patut diperjuangkan hingga akhir. Masalahnya, gue sanggup atau nggak? Mau atau nggak?

Ternyata nih, ada ukuran dari kemampuan kita mengatasi masalah, mengontrol situasi. Urusan IQ, EQ, SQ ternyata belum cukup buat mendefinisikan diri kita. Sepagian tadi gue tertegun mempelajari tentang AQ, Adversity Quotient. Ini merupakan ukuran sejauh mana kita bisa menghadapi tantangan dan perubahan. Istilahnya sih, kita nih gampang menyerah apa kagak?

AQ bukan hal baru. Hasil riset gue menunjukkan tahun 2008-1998. Tapi gue juga nggak ngerti kenapa baru denger sekarang. Kalau IQ ukurannya pake angka, AQ cuma punya tiga ukuran. Quitter; orang-orang yang udah kalah sebelum perang. Udah mundur sebelum mulai. Yang berkata pada diri mereka 'gue nggak sanggup' kemudian berhenti. Sialnya, mereka punya pendukung yang juga quitter. Lalu kita dengan enteng melabeli mereka sebagai loser, atau sampah masyarakat. Alih-alih membantu mereka menemukan fokusnya.

Camper; mereka yang menjalani segala sesuatunya cuma demi mencari kenyamanan. Mereka nggak berencana melihat puncak. Ibaratnya naik gunung Semeru, ini deh orang-orang yang memutuskan sampe Ranu Kumbolo aja. Buka kemah, menikmati bintang-bintang, main gitar, bikin api unggun. Dan pulang keesokkan harinya. Tanpa melihat puncak Semeru.  Ini juga kita yang menolak mengambil resiko lebih, menolak bekerja lebih keras, menolak melakukan hal yang lebih dari biasa, karena kita sudah cukup merasa nyaman dengan kondisi saat ini.

Terakhir ada Climber; gue melihat, ini mungkin orang-orang yang kita anggap inspiratif. Mereka yang mengecap manisnya sukses di usia muda. Satu kesamaan mereka, punya tujuan yang konkrit, punya networking yang cukup untuk menjual idenya, punya lingkungan yang supporting, dan punya hati yang lapang. Karena meraka nggak selalu langsung berhasil. Orang-orang ini yang kadang kita pandang dengan sinis bercampur kagum.

Dari semua bahan yang gue kumpulin, contoh yang diambil selalu tentang bagaimana seorang pendaki menaklukan gunung. Jujur sih, kalau contohnya itu, gue termasuk golongan terakhir. Karena gue selalu mendaki lebih tinggi, berjalan lebih jauh dan lebih cepat, dengan perbekalan yang lebih efektif. Tapi begitu gue turun gunung dan bermasyarakat, gue entah jadi Camper atau Climber. Yang pasti gue yakin gue bukan quitter.

Dan sesungguhnya, yang membedakan Camper dan Climber adalah kesabaran. Bagaimana kita tetap sabar untuk terus berusaha, berjalan walau perlahan, membuat perubahan walau kecil. Karena puncak yang sesungguhnya bisa jadi bukan harta, jabatan atau kekuasaan. Kalau begini sih, gue percaya kita semua adalah Climber. Asal kita punya mimpi dan bertekad menjadikannya kenyataan.

Just like Tyra Banks said, never complain, never explain. Just go for it.