Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

lluvia #16

Lalu saya ingat kamu. Sungguh sial, sebenarnya saya tidak sanggup mengenyahkan mu. Hari ini hujan. Jendela besar di samping saya menampilkan kabut di tengah kota.
Oh tolong hentikan. Otak saya lantas memutar kepingan tawa mu. Saya mohon berhenti. Saya tidak ingin kembali menatap mata itu.
Saya pernah bilang kamu candu. Kamu tertawa menanggapinya. Saya pernah bilang sayang. Kamu tertawa menanggapinya. Saya pergi. Kamu tidak (pernah) peduli.
Hentikan, hentikan, hentikan. Hujan, kabut, hormon, rindu, cinta, derita, tolong jangan ambil kesadaran saya.
Saya sudah pergi. Walau hati saya masih di sana. Walau hati saya terasa mati. Saya sudah pergi.
Pergi kemana saja, saya tetap cinta.
Sungguh sial.

Published with Blogger-droid v2.0.10

Comments