Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Life is the big question.

Gue lagi menelusuri jagat maya sembari bergelut dalam selimut, mata masih sepet akibat acara semalam. Membuka beragam social media. Menuruni newsfeed, timeline, recent updates. Menemukan apa yang ingin ditunjukan pemilik akunnya.

Dalam sebuah kelas Teori Sosiologi, seorang dosen pernah berkata: bahwa nggak ada yang namanya manusia anti-sosial. Karena pada setiap pilihan yang diambil manusia berkaitan dengan 'apa pendapat publik tentang dirinya'. Bahkan semua benda yang ada di dunia ini dibuat untuk maksud itu. Menunjukkan diri pada dunia. Bersosialisasi.

Contoh umumnya, produk pemutih wajah, dipakai perempuan agar lelaki dan perempuan lain kagum akan warna kulitnya. Susu protein, dibuat khusus untuk laki-laki agar digilai perempuan dan lelaki lainnya. Kecap jenis tertentu, agar menantu disayang mertua. Car polish, supaya pemiliknya dilirik pengendara lain. Bahkan benda kecil seperti benang gigi dan korek kuping. Dibuat agar manusia tampil lebih baik saat bersosialisasi.

Dan sekarang, dengan gempuran gadget mungil nan canggih, manusia semakin dimanjakan saat bersosialisasi. Menuliskan pikirannya untuk mendapat persetujuan dari orang nggak dikenal. Mengabadikan fotonya untuk menunjukkan eksistensi. Memilih pakaiannya agar publik tau tentang selera fashion pemiliknya.

Pada akhirnya, manusia tidak bisa tidak mendapat pengakuan dari sesamanya. Lo bukan food blogger kalau nggak dapet undangan launching restoran. Lo bukan selebritis kalau infotainment nggak nongkrongin rumah lo. Lo bukan fotografer kalau gak ada yang nge-hire jasa lo. Lo bukan loner kalau temen-temen lo nggak mengakui itu.

Seberapa pun banyaknya gue teriak: I don't care about what people think/say about me. Gue tetap memilah-milah pakaian gue tiap pagi untuk menghindari tatapan: 'ih, aneh banget outfit-nya' dari orang yang gue nggak kenal.

But, suit urself. I'm not gonna change me. And the biggest question still: re u living u life in order to impress people u don't really care?

Don't worry about what people think. They don't think about u so often.

Comments