Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Innocent until proven guilty

Beberapa waktu lalu, pas ada kecelakaan yang melibatkan murid-murid sma gue, di supir di-bashing abis-abisan di twitter dan kaskus. Sekarang, kejadian lagi sama pengemudi Xenia yang menewaskan 8 orang. Gue belum ngecek twitter sih, tapi biasalah, di kaskus udah dibikinin thread sendiri.

Pas lagi kuliah, gue sempet ngambil matkul Media Massa dan Kejahatan. Salah satu poin yang gue inget: media sebagai kontrol sosial. Biasanya sih ini mengacu pada: untuk memantau rezim yang sedang memerintah. Makanya tuh suka ada poling popularitas Obama atau SBY.

Pada dua kasus di atas, kontrol sosial yang dilakukan media (dalam hal ini kaskus dan twitter) nggak punya koridor yang jelas. Sebagian besar postingan nge-bashing 'pelaku'. Padahal, ini kecelakaan. Memang, pastinya ada pihak yang lalai hingga terjadi kecelakaan. Emang ada pasal juga yang mengatur ttg kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Dan kontrol sosial di sini (nge-bashing) ditujukan agar kejadian serupa nggak terulang lagi.

Tapi, coba bayangkan kalau kita yang berada di posisi si supir Xenia atau si anak sma. Kita lagi tertekan, kalut, ketakutan, guilty, tanpa harus di-bashing jugaan, kita terus-terusan berpikir 'how could this happen to me?' Belum lagi, media massa beneran kayak tv dan harian juga ngejar-ngejar dengan pertanyaan bodoh: kok bisa sih kecelakaan itu terjadi?

Daripada nge-bashing 'pelaku' (yang sebenernya juga korban) mendingan kita membesarkan hati keluarga korban. Lagian, kita sendiri nggak berada di TKP kan? Sekali lagi, kalau saat kejadian kita ada di TKP, apakah kita akan rela meminjamkan mobil untuk membawa korban ke rumah sakit? Atau, kita malah sibuk ngambil foto dan video untuk disebarkan di jejaring sosial?

Ngapain sih, nambah beban pikiran dan perasaan orang yang sedang terpenjara oleh rasa bersalahnya? Gue sering banget mikir gini sebelum komentar: gimana kalau gue di posisi dia?
Pasti sedih, disudutkan seperti itu, padahal gue sendiri nggak kepengen ini terjadi.

Karena anonim, orang-orang suka jahat dalam ngasih komentar. Mereka berani karena pake topeng.

Shinta.

Comments