Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

I see my death

Participants:
-------------
Shinta, Teman
Messages:
---------
Shinta: Niiy, update dong, tadi jadi loncat gak yg di ps mampang?
Teman: Ohh enggak jd mba
Shinta: Yaaah
Shinta: Hehehe
Teman: http://megapolitan.kompas.com/read/2012/01/19/21412396/Wanita.Muda.Coba.Bunuh.Diri.di.Pasar.Mampang
Shinta: Dia ternyata takut ketinggian yah?
Teman: Gak tau emg mau lompat kyknya
Shinta: Oh demikian. Lagi kalut mungkin
Teman: Iyaaa lg galau sekejap kali
Shinta: Sadis galaunya
Shinta: Pasti dia ngerasa no one understand me, gitu. Kasian
Teman: Iyaaah,untung ada penyelamat. Harusnya mah dia share aja gitu ya
Teman: Biar plong *loh
Shinta: Hehehe, kadang gak semudah itu :)
Teman: Iya sih,ada sesuatu yg emang baiknya di disimpan sendiri hehe

Tadi itu, ada percobaan bunuh diri di pasar Mampang. Teman kebetulan berada di sekitar itu, jadi gue minta laporan pandangan mata sama dia.

Gue mulai berpikir kalau gue itu kaum naturalis yang mempertanyakan banyak hal. Kali ini pertanyaan yang mampir ke otak gue adalah 'apa yang ada dipikiran orang itu saat ia memutuskan untuk bunuh diri?' 'Gimana perasaannya?' Kalut, pasti. Tapi, apa yang mendorong dia sampai mikir ke situ. Kemana temen-temennya? Keluarganya?

Jaman kuliah dulu, gue sempet ngambil matkul Sosiologi Perilaku Menyimpang. Sedikit banyak, menjelaskan kenapa orang bisa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma dan nilai masyarakat. Apa yang melatarbelakanginya. Nah, bunuh diri ini termasuk melanggar norma agama dan nilai 'hidup/mati itu di tangan Tuhan'.

Menurut memori di otak gue -hasil baca, nonton, denger- pendorong utama tindakan bunuh diri adalah depresi. Dan perempuan lebih rentan depresi daripada laki-laki. Penelitian juga menunjukkan kalau jumlah perempuan yang melakukan percobaan bunuh diri, lebih banyak dari laki-laki. Tapi, tingkat keberhasilan bunuh diri, 4 kali lebih besar pada laki-laki. Waktu itu gue sempet setengah bercanda: 'sebenernya, cewe-cewe kagak mau mati. Mereka cuma mau menyampaikan pesan, kalau mereka bingung dan butuh pertolongan'.

Kenapa tingkat keberhasilan pada laki-laki lebih besar? Karena, mereka cenderung menggunakan alat yang lebih mematikan, misalnya pistol atau gantung diri. Kalau perempuan biasanya pake obat serangga, dan motong nadi. Fyi, cara motong nadi yang bener kalau lo mau mati adalah sejajar dengan urat nadi lo, bukan menyilang.

Kalau mau jeli, mereka yang berusaha bunuh diri, biasanya ngasih sign tanpa sadar. Seperti sering ngomong 'mau pergi', self destructive, menarik diri, perubahan pola makan dan tidur, kehilangan minat pada hal yang disukai, atau sesimple bilang: kalau gue mati, gimana yah?

Sayangnya, budaya Indonesia nggak menganggap serius signs barusan. Biasanya, orang yang ngomong gitu bakal disuruh sholat, ngaji, ke gereja, apalah yang mendekatkan diri pada Tuhan. Omongan macam ini justru akan ditanggapi dengan defensif. Padahal, kadang orang-orang ini cuma butuh didengar dan dipercaya. Kadang juga, mereka ingin cerita, tapi bingung memulainya dari mana. Terlebih, di Indonesia, kata depresi mempunyai konotasi negatif. Makanya banyak orang takut dan nggak mau dibilang depresi.
Banyak orang yang mungkin bilang: masalah lo sepele, banyak orang lain yang lebih menderita. No, ini bukan tentang masalah yang tidak bisa terselesaikan. Ini lebih karena faktor depresi tadi. Misal A (tanpa depresi) mendapat nilai jelek, reaksi A: yah, sialan gurunya, gue cuma dikasih segini. Sedangkan kasus yang sama terjadi pada B (depresi): kok cuma segini? Gue kan udah belajar sampe larut. Gue udah try my best. Apa lagi yang salah?

Pertanyaan yang muncul berikutnya di otak gue adalah kenapa orang bisa depresi? Apa sama kayak kalau orang keujanan bakal pilek? Hasil tinjauan pustaka gue sih, menyimpulkan kalau faktor keturunan dan lingkungan punya peranan penting. Orang yang sepanjang hidupnya nggak pernah dipuji, nggak tau cara menghargai dirinya. Karena itu, tiap kali ada sesuatu yang nggak sesuai harapan dia, dia jadi down dan nyalahin diri sendiri. Orang tua dengan kecenderungan depresi, juga bisa menurun pada anaknya. Apa depresi bisa disembuhkan? Entah yah, gue juga berniat nanya-nanya ke temen-temen di Psikologi UI tentang hal itu.
Bighug buat mereka yang merasa sendiri dan ingin pergi. Ingat ini setiap lo kepikiran pengen mati: I don't wanna die, I want this to be over.

Please don't kill yourself, it's not yours after all.
Shinta

Comments