Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Berbeda-beda tapi tetap kudu ikut suara mayoritas

Jaman SMA dulu, guru Tata Negara gue bilang gini ke gue: '...pendapat kamu emang bagus tapi, kamu harus mengalah dan mengikuti suara mayoritas. Atau, kamu harus bisa persuasif dan argumentatif dalam mempertahankan pendapatmu. Itu pun kalau kamu cukup kuat.'

Tapi, gue suka ngerasa kalau gue bener, kenapa harus mengalah? Beberapa tahun sejak lulus SMA, gue belajar lagi, biarpun ada norma dan nilai mayoritas dalam masyarakat, sebenernya, tiap individu punya norma dan nilainya sendiri. Karena manusia adalah makhluk sosial, tiap individu ini diharapkan dapat berkompromitas dengan norma dan nilai yang ada. Yang gue artikan sebagai 'penyeragaman'.

Apa kabar dengan berbeda-beda tetapi satu juga? Keliatannya, itu cuma mitos nusantara. Contoh kecilnya, temen gue yang merantau dari Padang ke Jakarta, dipanggil dengan sebutan mbak alih-alih uni. Gue yang 100 % keturunan Betawi, lebih terkenal dengan nama Kak atau Mbak Shinta, bukannya Mpok Shinta. Efek Jawanisasi peninggalan Pak Harto. Budaya aja, udah diseragamin. Apa lagi pemikiran? Budaya kan buah pikiran manusia.

Kalau semuanya seragam, dimana nilai keunikan individu? Kalau semuanya diharuskan berpikir kompromitas, dan akhirnya menyembunyikan pemikiran sendiri, bukannya itu nggak adil? Saat individu takut mengemukakan pendapat karena pendapatnya dianggap minoritas dan nyeleneh, dimana demokrasi?
*Intermezo, ngomong tentang takut berpendapat, gue jadi inget qoute: 'seseorang bisa dibilang pemimpin yang baik jika pengikutnya bisa mengutarakan pendapat tanpa rasa takut'.

Gue ngerti deh. Gue emang sering punya pendapat yang berbeda dari kebanyakan orang. Perbedaan latar belakang, pendidikan, pengalaman, referensi dan kemampuan analisa seseorang, bikin orang itu punya pendapat sendiri atas suatu masalah. Nggak ada yang bener atau salah karena semua itu relatif. Tergantung lo melihat dari angle mana. Dan gue nggak bisa memasukan dunia yang besar ini ke dalam bingkai kecil pemikiran gue.

Kebetulan di sini katanya negeri demokrasi, jadi marilah kita sepakat untuk tidak sepakat. Saya tidak akan memaksakan pemikiran saya, dan biarlah dunia tetap punya orang mayoritas. Bukan karena saya tidak dewasa dalam menyikapi masalah, I just being real, be original. We never really grow up, anyway. We just learn how to act in public.

Do whatever make u feel good, people. Hail to democrazy.

Comments