Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Sabtu

Saturday is supposed to be fun and the most awaited day of the week.

Tapi semua berubah sejak negara api menyerang.

Some time months before, gue anxious ketika Sabtu datang. Beda dengan orang-orang yang baru anxious menjelang Senin, dulu gue selalu seneng menjelang Senin karena berarti kerja lagi,

Lalu, apa yang gue lakukan untuk membuat Sabtu kembali menyenangkan?

Setelah berhasil mengumpulkan energi, Sabtu pertama gue menuruni air terjun. Apakah ini kegilaan atau memang gue sedang membutuhkan distraksi, tapi eksplorasi pertama ini seakan membangunkan gue dari koma panjang bertahun-tahun.

Berhari-hari merasakan chest pain, gue kira, umur berhasil mengalahkan kesehatan gue dan mungkin gue juga punya penyakit jantung seperti mama? Pun ketika dibawa menuruni air terjun, nyeri di dada tidak terasa.

Memang sudah lama gue curiga itu hanyalah psikosomatik. Efek di badan karena pikiran. Lantas ketika dibawa bertualang, rasa sakit itu justru hilang.

Sayangnya efek adrenalin sirna beberapa hari kemudian. Lalu nyeri di dada datang lagi. Rasa terpuruk menyelimuti kembali. Seperti tidak mengenali diri sendiri, seakan mencari-cari siapa gue selama ini. Begitukah, atau justru pelan-pelang gue kembali mengambil kendali?

Sabtu berikutnya gue kembali pergi. Kali ini melompat dari ketinggian 98 kaki. Mencari, apakah nyeri yang menyiksa akan sirna, apakah seulas senyum akan terukir. Dan banyak pertanyaan lainnya.

Beberapa detik sebelum melompat, gue meyakinkan diri kalau ini bukanlah bentuk pelarian dari kegagalan. Justru jalan kembali untuk menikmati. Merasakan, apa yang dulu gue senangin. Mengingat serunya sendiri. 

Dan sedih tidak akan lagi berarti. 

Entah masih kurang atau entah nagih, lanjut di hari Sabtu, gue manjat. Kali ini hingga ketinggian 900 mdpl. Apa yang dicari? Bisa jadi sekedar cari lelah agar tertidur lelap.

Atau ya itu. Cari distraksi.
Supaya hidup bisa kembali dinikmati.

Memang kadang masih sedih. Masih suka bertanya kenapa, bagaimana bisa, apa yang ada di otak dan hatinya. Tapi yah, apapun itu, tidak lagi berarti.

Rasa sakit ini.
Sesak di dada ini.
Semuanya.
Tidak lagi berarti.
Tidak lagi berarti.
Tidak lagi berarti.

Sabtu masih akan terasa sedih.
Dan gue masih akan berusaha memperbaiki.
Agar Sabtu bisa kembali dinikmati.
Sendiri.

Comments