Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Kenapa Shinta Nggak Punya Cinta?

Dua hari kemarin gue sengaja ngambil cuti buat ketemu makhluk yang satu ini. Kami berkeliling ibukota naik Transjakarta hingga mencoba bis tingkat kebanggaan Jakarta.
Pembicaraan mengalir dari politik sampai kampanye dadakan kutu-kutu di newsfeed jejaring sosial. Dari kord gitar sampai matahari pagi di Kuta, Bali. Dari interior restoran sampai masalah hati. Lalu terhenti.

Kamu nggak kepengen punya kisah cinta picisan kayak orang-orang? tanyanya bukan untuk pertama kali. Dia bilang dari semua orang yang ia tinggal ke Bali, gue yang paling berubah namun tidak berubah. Gue tertawa. Karena segala hal yang ikut berubah di sekeliling gue, perubahan gue jadi tidak terasa?
Bukan. Jawabnya. Lalu ia memaparkan konsepnya tentang kenapa gue tampak serupa tapi tidak sama. Kami saling menunding dan menepis. Juga saling tertawa. Rasanya sudah lama tidak punya teman seperti dia. Yang kehadirannya tidak membuat tertekan. Yang pertanyaannya selalu merefresh otak.

Batang rokok kesekian ia nyalakan. Sekali lagi bertanya kenapa gue tidak membuat kisah cinta picisan. Gue kehabisan kata untuk pertanyaan yang satu itu. Tentu bukannya karena gue nggak ingin atau nggak mampu. Mungkin karena gue nggak punya waktu?
Ia menggeleng. Kalau gue bisa menyisihkan waktu demi teman yang udah 15 tahun gak ketemu, pasti gue bisa cari waktu buat bikin kisah cinta. Teorinya. Sayang, kenyataan yang terlihat waktu gue berputar dari kerjaan satu ke kerjaan lain dan kalau ada sedikit waktu tersisa gue lebih suka pulang ke rumah. Bekerja yang lain.

Kami sama-sama diam sambil mengaduk es kopi. Masalah orang muda di Jakarta yah. Bisa cari kerja gak bisa cari cinta. Ungkapnya. Ah, biasa saja. Banyak yang punya kerja dan punya cinta. Tandas gue. Ia mengangguk. Lalu kenapa gue nggak bisa seperti orang-orang itu? yang punya kerja dan punya cinta? todongnya.
Mungkin gue nggak beruntung dalam cinta. Mungkin gue emang masih asik dengan kerja. Entahlah. Gue tertawa dan berpikir bagaimana jika dia bertemu dengan dokter dan bergosip tentang gue. Mungkin mereka bisa bertemu solusi tentang kehidupan shinta.

Mungkin kamu berharap ditemukan, namun kamu senang bersembunyi. Ucapnya. Persis waktu dulu kami main petak umpet. Mungkin karena kamu berharap jatuh cinta seperti dalam tulisan. Manis dan hangat. Kenyataan yang tidak pernah kamu temukan. Lanjutnya.

Mungkin karena gue belum dipertemukan dengan lelaki yang membawa cinta. Mungkin karena kamu tidak mencari. Mungkin karena gue tidak good looking. Mungkin karena kamu menarik diri. Mungkin karena gue tidak berpikir normal. Mungkin karena kamu tidak mau terlihat lemah.

Itu benar. Semuanya benar. Gue nggak punya pengalaman apa-apa soal cinta. CV gue kosong. Bukannya cinta tidak menarik. Hanya saja hubungan picisan macam itu sudah lewat masanya buat gue.

Mungkin karena, ia lanjut berbicara, kamu mau seseorang seperti A yang punya kapasitas otak seperti B. Itulah sebabnya kamu tidak mau melepaskan keduanya. Tidak mau memilih hanya satu. Karena otak dan hatimu tidak pernah seirama.

Comments