Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

The Nameless Guy

Dari tempatnya berdiri, ia menatap lelaki itu seakan tidak ada hal lain yang lebih layak mendapatkan perhatiannya. Sesuatu dari si lelaki membuatnya enggan melepaskan pandangan. Ia masih menatap sambil mencari tahu.

Apakah wajahnya? Air muka? Atau pembawaan si lelaki yang cuek pada dunia? Ia belum menemukan jawabannya saat halte yang dituju tiba.

...

Matanya berkedip perlahan menyadari sekali lagi ia berpapasan dengan lelaki itu. Kali ini pandangan mereka bertemu. Si lelaki ikut mengamatinya. Lalu keduanya tersenyum. Bola mata si lelaki membesar melihat senyumannya. Sepanjang jalan keduanya saling diam dan mencuri pandang. Sambil tersenyum cerah, ia mengangguk pada si lelaki saat halte yang dituju tiba.

...

Senyuman merekah di bibirnya saat melihat lelaki itu di lain waktu. Ia mengkalkulasi segala. Walau entah si lelaki masih ingat akan dirinya. Ia menatap ramah. Dan saat si lelaki melihatnya, keduanya tahu mereka harus bicara.

Suara lembut si lelaki membelai telinganya. Tampilan si lelaki yang aku-tidak-peduli-pada-dunia juga menyegarkan matanya. Ia tidak bicara banyak. Hanya satu-dua kalimat yang memicu si lelaki untuk bercerita. Ia tahu segala. Semua sesuai perkiraannya.

Si lelaki belum lagi menyebut nama. Dan ia tidak terlalu peduli untuk bertanya. Pun keduanya asik bercerita hingga bulan menjemput malam. Ia menikmati menatap si lelaki. Tak peduli apa yang didengarnya. Ia tahu segala. Semua sesuai perkiraannya.

Ia menyebutkan namanya. Si lelaki mengulang namanya. Tapi tidak sekali ia bertanya nama si lelaki. Dan ia tidak terlalu peduli untuk mengetahuinya. Keduanya merasa berat untuk berpisah. Apakah ini untuk selamanya?

Ia tidak pernah berhenti menikmati menatap si lelaki. Hingga saat si lelaki menyebut namanya, ia menutup kedua telinganya. Ini tidak untuk selamanya. Si lelaki lebih baik tidak bernama.

Comments