Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Bandung AM to PM


After five minutes business meeting (that’s sarcasm, of course), saya bergegas bertemu dengan calon Menteri Pariwisata (this one, isn’t sarcasm) yang akan menampung saya selama semalam. Layaknya teman yang baru sekali berjumpa dan melanjutkan hubungan via online, kami punya banyak cerita untuk di-update dan konfirmasi. Tepat jam 12 malam, saya dengan terpaksa harus tidur.

Bangun tergesa-gesa keesokan paginya, saya berpacu dengan jarum jam yang menunjukkan pukul 4:40. Cuma ada 20 menit untuk mengaplikasikan sunscreen, eyeliner, brow mascara, mengenakan jilbab dan sepatu. Tuan kamar ikut terbangun dan mengamati kesibukan saya dengan setengah nyawa. Kami berpamitan tepat pukul 5:00.

And that’s my man guide, waiting uneasy on his Kotaro Minami’s motorcycle. Mungkin karena gelap, atau kacamata, ia tidak sadar saya melambai-lambai di depannya. Mungkin ia pikir saya penampakan. Kami bahkan tidak sempat berbasa-basi. Segera setelah saya memasang helm dengan benar, kami melaju menuju Dago Atas. First stop: Tebing Keraton.

Awal perjalanan, angin langsung menerpa wajah saya yang melaju dikecepatan kadang-kadang 60km/jam. Saya tentunya buta Bandung dan hanya tahu kami menyusuri Dago menuju Tahura. Si akang sempat bilang, ‘deket kok, ke atasnya.’ tapi sejak 2007 saya yakin dekat versi orang Bandung bisa melebihi 10 kilometer. Lagipula saya sudah sibuk menoleh kanan-kiri menikmati Bandung di minggu pagi.

Kami sempat sekali salah belok di pintu masuk Tahura, sebelum kembali ke jalan yang benar. Medan yang dilalui tidak main-main. Dari mulai jalan sedikit rusak, jalan rusak, jalan tiba-tiba mulus dan jalan rusak parah, membuat saya bersyukur si akang didampingi motor yang tangguh. Bukan berarti di jalan licin dan berdebu itu akang tidak mati-matian mempertahankan motor agar seimbang dengan saya yang jumpy di belakangnya.

Tanjakan-tanjakan terjal harus kami lalui menuju Tebing Keraton dengan dua alasan yang berbeda. Akang penasaran karena postingan social media, saya gatal karena sudah sebulan terkurung di Jakarta. Alasan lainnya biarlah kita kesampingkan saja. Sepanjang perjalanan, ada banyak motor yang satu tujuan dengan kami dan beberapa mobil. Lebar jalan membuat saya makin jumpy tiap kali berpapasan dengan mobil.






Lebih kurang 45 menit, kami sampai di pintu pertama Tebing Keraton. Di sini motor dimintai biaya retribusi sebesar IDR 5000. Perjalanan masih berlanjut hingga ke tempat parkiran motor dan pintu masuk a la kadarnya ke Tebing Keraton. Berdua, kami membayar IDR 22000. Sudah banyak tim pencari matahari dan timelapse yang menunggui kameranya. Tim selfie juga tidak mau ketinggalan menyelinap sana-sini dan membuat beberapa orang (baca: saya) jengah.

Saya tidak langsung mencari moment untuk difoto (dan kemudian diunggah di Path), akang masih capek jadi saya menemaninya ngobrol sejenak. Minat memotret baru muncul saat dari sisi kanan ada cahaya hangat menyapa pipi saya. Jepret, jepret, jadilah foto seadanya buat jejaring sosial. Lantas sekalian saja saya mengambil beberapa momen lain serta ikut antri di spot sejuta umat yang sungguh membahayakan.

Dari batu karang di ujung tebing, bergantian para pengunjung berfoto. Dari yang berpose berani, hingga pose takut-takut. Saya pilih pose yang aman, saking cari amannya, saya tidak memoto penampakan sepatu trekking saya karena takut jatuh. Dari pada kaki, saya lebih memilih ikutan trend selfie. Anyway, it takes 10 months to get another selfie with akang, there’s no way I’m gonna waste it.

Setelah mengisi perut di warung terdekat dan minum bandrek yang terlalu manis untuk diminum, perjalanan dilanjutkan mencari nasi beras hitam. Mungkin ada di daerah Punclut, Ciumbeluit, saya bukan ahli Bandung, akan direvisi setelah nanya akang. Mungkin karena lapar, udara dingin, lelah, mungkin juga karena teman makannya, sajian brunch yang disediakan terasa nikmat. Saat itu saya terpikir kalau sudah lama tidak makan seenak ini.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Tangkuban Perahu karena saya bilang saya belum pernah ke sana. Tepat ketika adzan dhuzur berkumandang, kami sampai di parkiran Kawah Ratu. Selesai laporan dengan Sang Penguasa, saya kepincut topi boneka yang urung dibeli, lalu duduk lagi mendengar akang bercerita, sebelum kembali memoto beberapa spot.




Rencana ke Kawah Domas terpaksa digagalkan karena kami diharuskan menyewa guide. Melepaskan kepenatan dan asam laktat yang mulai mengikat otot, kami beristirahat di lokasi penyewaan tikar di antara pohon-pohon. Dari kejauhan saya ingin menimpuk pasangan yang sedang pamer keintiman. Hampir pukul 15:30 sebelum akhirnya kami turun ke Kota Bandung.

Tidak selancar perjalanan naik, saat turun kami berbarengan dengan banyak bis pariwisata yang menimbulkan kemacetan dan penyempitan jalan. Baru di jam 16:00 kami sampai lagi menuju Pasupati. Saatnya untuk kembali ke Ibukota karena pemandu saya akan menunaikan tugas lain. Saya belum mau pisah pulang. But that’s it, there’s always a good bye. Waktu menunjukkan pukul 16:55.

I hate to admit it, the quote is applicable. In life it’s not where you go. It’s who you travel with.