Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

Mommy, Please Stop Crying

Gue sebenernya gak tipe nulis-nulis beginian. Dan tulisan ini tidak bermaksud menghakimi perempuan manapun.

Hari ini dimulai dengan bayi paling besar dan paling pemarah gak mau mandi kalau gak dikasih mainan lagi. Lalu berujung pelukan bau susu sebelum gue berangkat bermain dan bekerja. Iseng buka folder-folder foto, gue sadar belum pernah sekalipun foto bayi. Gue pun whatsapp jejeran ibu dan ayah di grup.

Shin: gue mau foto bayi nih, pinjem bayi kalian dong. Tapi dandanin dulu yang wangi.
A: silakan tantee..
F: ah, nanti kayak kasus daycare lagi, emte.

Gue awalnya belum tau kasus daycare itu kayak apa. Walau kesel karena si F menunding gue akan apapun itu tentang day care, gue langsung konsultasi sama Google dan nemu video bayi dibanting-banting. Sedih dan gak rela walaupun itu bukan bayi gue.

Beberapa belas tahun lalu waktu bayi boneka digigit sama orang yang gemes ma dia, gue lebih murka dibanding emaknya si bayi. Manusia kok gak bisa mikir panjang. Masa bayi digigit, tololnya keterlaluan.

Lalu membuka Path, ada postingan yang gak setuju kalau ibu-ibu sebaiknya tinggal di rumah aja. Ibu-ibu juga harus kerja. Kali-kali nanti suaminya jadi bajingan dan ibu-ibu yang gak punya financial independency akan terluka. Membalas komen gue, si junior bilang mending bayinya diasuh orang tua atau mertua supaya ibu-ibu bisa tetap bekerja dan bayi berada di tangan yang aman dan sejahtera.

Di lingkungan gue, kebanyakan ibu lulusan SMA dan tinggal di rumah. Mereka punya pendapatan di luar pendapatan suaminya. Anak-anak mereka bahagia dengan kadar kenakalan yang beragam. Ibu-ibu yang tinggal di rumah aja belum pasti bisa mengarahkan anak-anak ke jalan yang lurus, belum pasti mengasuh bayinya dengan lurus.

Nenek-nenek yang mengasuh cucu-cucunya, kapan mereka akan beristirahat dan menikmati masa tua? Tentu nenek senang bermain dengan cucunya. Tapi mereka sudah tidak semuda dan setanggap dulu untuk mengasuh lebih dari 12 jam. Bayi itu rewel dan bikin jengkel. Balita itu aktif dan bikin berantakan. Remaja itu gila dan bikin stress kata bang haji Rhoma. Kenapa orang tua tega melepaskan tanggungan ini kepada kakek-nenek (atau bahkan orang asing) untuk lantas mencari lembaran uang?

Gue berkomentar atas kasus daycare di awal: Sedih, ibu-bapak bekerja untuk membiayai pembully bayi mereka.

Gue berkomentar kepada junior: kapan kakek-nenek bisa punya waktu untuk mereka sendiri?

Gue belum punya bayi, dan gue berencana punya bayi. Dalam rencana itu, gue ingin memberikan seluruh pengalaman, pengetahuan, cinta kasih, waktu, tenaga Shinta, buat bayi gue hingga kelak ia mampu sendirian.

Semata-mata karena gue ingin si bayi masa depan bahagia dan tidak gila dunia seperti Shinta. Karena bayi-bayi itu begitu berharga bagi masa depan bangsa dan agama. Gue yang sekarang akan sedikit-sedikit mempersiapkan diri untuk menjadi penanggung jawab bayi masa depan.

Menjadi seorang ibu, tinggal di rumah maupun bekerja, sama beratnya. Maka sedikit-sedikit saya juga ingin melepaskan beban berat itu dari ibu saya. Bayi saya, tanggung jawab saya.

Comments