I was sorting my files and photos in all my flashdisks, and i found this. An article i wrote for that ultimate teen magz in town. Quite good article i think. And of course this one made based on my hate for TV shows. Enjoy.
Industri di balik kotak ajaib
Mayoritas dari kita pasti punya kotak ajaib bernama tivi di
rumah. Tapi, dengan banyaknya akses informasi yang kita punya, seberapa sering
sih kita menonton siaran TV nasional saat ini?
Coba deh sekali-kali perhatiin timeline di social media,
selain curhatan no mention, ternyata nggak sedikit yang ngeluh soal menurunnya
kualitas tayangan televisi kita sekarang ini. Keluhan ini rata-rata soal ragam
acaranya yang monoton dan kontennya pun nggak banyak memberi informasi. Apa
bener, acara tivi sekarang segitu ngeboseninnya?
Daripada penasaran, Gogirl! pun memulai pengamatan dengan
mantengin tivi seharian penuh. Oke, pagi-pagi dimulai dengan infotainment di 7
dari 11 saluran televisi nasional. Pst, kalau ngeliat dengan jeli, seleb yang muncul itu-itu aja kok, cuma
kan seru ngedengerin komen host-nya, hihihi. Tayangan infotainment berdurasi
60-90 menit ini disambung dengan acara musik.
Selepas siaran berita siang selama 30 menit, tayangan
televisi kembali didominasi oleh acara infotainment, reality show dan tayangan
FTV. Menjelang malam, ada beragam variety show yang bersaing ketat dengan
sinetron. Selain dari tayangan berita yang porsinya cuma 30% dari keseluruhan
acara di televisi nasional, informasi yang kita terima dari televisi
bener-bener minim banget. Wajar buat
kita yang kebutuhan akan informasinya tinggi, nggak betah lama-lama nongkrongin
tivi. Abis, isinya itu lagi itu lagi sih.
Rating vs Kualitas
Ngomongin soal tivi, mau nggak mau kudu ngebahas rating nih.
Tau dong kalau rating merupakan tolak ukur apakah suatu acara tivi disukai atau
nggak. Acara dengan jumlah penonton banyak otomatis punya rating tinggi. Jadi
gak udah heran, kalau ada sinetron yang episodenya dipanjang-panjangin, Gogirl!
yakin pasti karena sinetron itu dapet rating tinggi. Di Indonesia, penghitungan
rating ini dilakukan oleh lembaga surveyor AGB Nielsen.
Tapi, nggak jarang rating dituduh jadi masalah utama di
industri televisi. Rating tinggi merupakan salah satu ukuran suksesnya suatu
acara. Sayangnya, penilaian rating di
Indonesia saat ini dimonopoli oleh satu lembaga aja. Jadi pihak pembuat program
nggak punya tolak ukur lain dalam melihat program mana yang kontennya
informative dengan kemasan yang bisa diterima masyarakat.
Kalau kita lihat, acara-acara berating tinggi, nggak lantas
punya kualitas bagus. Sebaliknya, acara yang secara kualitas dinilai bagus dan
informative, belum tentu memiliki rating tinggi. Nah, hasil rating AGB Nielsen
ini juga sempet diprotes, kok bisa acara dengan unsur hiburan tinggi namun
nggak edukatif dan informati, justru meraih rating tinggi.. Sumber dari AGB
Nielsen mengatakan kalau hasil rating AGB Nielsen nggak terkait dengan kualitas
acara tersebut. Soalnya nih, riset AGB Nielsen didasarkan pada metode kuantitatif
untuk mengetahui jumlah dan profil pemirsa televisi.
Ada efek domino dalam penilaian sistem rating ini, kalau
suatu acara punya rating tinggi, otomatis acara serupa bakal dicontek sama
stasiun tivi lain. Misalnya aja dari data Nielsen, pada periode awal inBox yang tayang seminggu 5 kali
di SCTV punya rating TVR 2,9 dan share 27,1. Nggak lama, RCTI mengekor dengan
membuat DahSyat, Trans TV punya Derings, sementara antv punya klik! dan Mantap.
Keliatan banget sistem rating ini bikin pilihan acara kita terbatas. Pada
akhirnya kita cuma bisa nerima apa yang disajikan oleh stasiun televisi.
Who’s watching tv program
Untuk melihat suatu acara berkualitas atau nggak, sebenernya
nggak bisa diukur secara objektif. Karena kebutuhan kita akan informasi dan
hiburan kan, beragam. Makanya tuh, komentar kita tentang acara televisi bisa
jadi subjektif banget. Kita mungkin heran kenapa acara yang ‘nggak berisi’
ditaruh di primetime. Tapi ternyata acara tersebut emang banyak yang nonton dan
dapat rating tinggi.
Menurut Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi DKI
Jakarta, Drs. Hamdani Masil, M.si, jumlah perolehan angka rating bisa
diibaratkan sebagai dewa dalam industry televisi. Karena hasil dari survey
inilah yang menjadi patokan investor untuk beriklan. Rating memperlihatkan
berapa banyak satu acara bisa menjangkau penonton dan konsep iklan seperti apa
yang pas dengan target market mereka.
Industry televisi sendiri sekarang sedang berkembang pesat.
Perkembangan ini juga memicu munculnya banyak rumah produksi yang menyediakan
program acara. Sebagai satu-satunya akses informasi dan hiburan yang menjangkau
secara nasional, stasiun televisi dituntut untuk bergerak cepat. Suka denger
istilah kejar tayang, kan? Logikanya sih, dengan waktu terbatas, akhirnya
pembuat program baik stasiun televisi maupun rumah produksi nggak bisa
memberikan kualitas terbaik dari acara mereka.
Ternyata acara kejar tayang ini justru banyak penontonnya.
Dengan modal sedikit, pembuat program udah bisa mendapat keuntungan dari rating
acara kejar tayang tadi. Kalau udah gitu, bisa keterusan deh, menyajikan konten
acara seadanya tanpa melihat segi edukasi dan informasi. Hal ini juga yang
bikin kita suka nyalahin pihak stasiun tivi karena menayangkan acara
berkualitas rendah.
Jangan-jangan sebenernya kita sendiri yang bikin stasiun
tivi terus-terusan nyiarin acara semacam itu, nih. Kalau kita sering menghujat
acara-acara di tivi tapi masih ikutan nonton, secara langsung kita udah
berkontribusi bikin acara sejenis jadi subur. Ngeliat rating tinggi, pihak
televisi akhirnya mempertahankan atau malah menambah jam tayang acara tadi.
Televisi sendiri fungsi utamanya lebih banyak untuk hiburan,
kalau mengemas acaranya terlalu serius, bisa jadi malah ditinggal penonton. Terutama
buat golongan ekonomi menengah yang nggak punya banyak pilihan hiburan. Nggak
semua orang, bisa nonton bioskop, tivi berbayar dan mengakses internet. Beruntung
banget kita punya akses informasi lain dari internet dan media cetak. Tapi
masih banyak loh, orang-orang yang sumber hiburan dan informasinya cuma dari
televisi.
Jadi udah jelas kan,
kalau rating tinggi bukan jaminan dari kualitas sebuah acara. Tapi balik lagi
nih, dengan banyaknya yang nonton acara semacam itu, apa berarti kualitas
masyarakat kita udah berkurang? Yang suka lolos dari perhatian publik, acara
hiburan di tivi juga macem-macem. Ada hiburan ringan kayak sitkom yang emang
buat refreshing aja, ada juga hiburan sehat kayak talkshow. Sinetron pun ada
beberapa yang edukatif kayak Para Pencari Tuhan dan Dunia Tanpa Koma.
Karena nggak mau ikut-ikutan nyalahin stasiun tivi, Gogirl
menemui Production Division Head dari Trans 7, Andi Chairil. Kata Pak Andi,
dalam membuat suatu acara, stasiun tivi juga harus ngeliat trend yang ada di
masyarakat. Contohnya, mayoritas masyarakat sekarang lagi suka-sukanya sama
Korean Pop dan Korean Drama. Stasiun tivi merespon ini dengan menyajikan ragam
acara sesuai trend tadi. Dari mulai drama asli Korea, sampai acara pencari
bakat yang mendatangkan management artis dari Korea.
Untuk membuat acara yang bagus, prosesnya nggak gampang.
Stasiun tivi emang kudu ngeliat trend, tapi nggak boleh lantas ngikutin semua
trend yang ada. Pak Andi menekankan kalau selain menghibur, tivi juga berfungsi
sebagai alat control sosial dan edukasi. Hal ini juga sempet disinggung oleh
Pak Hamdani yang bilang bahwa agenda masyarakat ditentukan agenda media.
Sebagai media hiburan dan informasi, stasiun tivi harus bisa menghibur
sekaligus menginspirasi.
Supaya televisi kita bisa menayangkan acara berkualitas,
campur tangan penonton dibutuhkan. Sebagai penonton, kita harus kritis terhadap
tontonan kita. Karena nggak semua tayangan cocok dan baik buat kita. Memiliki
kesadaran untuk mengkritik program acara, akan membatuh stasiun tivi untuk
melihat apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Eh, cara kritiknya jangan lewat
status di social media, yah. Langsung aja hubungi hotline KPI atau lewat kolom
pengaduan di website KPI.
Teks: Shinta
Gogirl Magz Juli 2012
Comments
Post a Comment