Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Menerjang Gelombang Menuju Derawan



Oke, ini jam setengah tiga pagi, gue masih punya peer but decided to write about crazy impulsive trip to Derawan. Singkat cerita, gue pergi bersama segerombolan teman SMA menuju pulau di ujung Kalimantan Timur. Ini sedikit aneh, karena tepat hampir sebulan lalu, gue berkenalan dengan teman yang kerja selama 10 tahun di Kalimantan dalam perjalanan pulangnya menuju Purwokerto. Ketika kami berpisah, dia meletakkan gelang oleh-oleh dari Kalimantan disertai undangan, ayo jelajahi tanah Borneo. Sebulan kemudian, di tahun yang baru, gue menjejakkan kedua kaki di sisi lain kepulauan Indonesia.

Ini pertanyaan yang gue dapat begitu teman-teman mendengar kabar gue mau ke Derawan di bulan Januari, ujan-ujan, ngapain sih ke pantai? Iya, gue juga gak tau ngapain gue ke Derawan. Gue cuma yakin kalau nggak sekarang, gue nggak akan pernah menjajal tanah dan air di Derawan. Berbekal tiket LionAir pp CGK-Tarakan-CGK 1,3 juta rupiah dan travel wisatakita 1,345 ribu rupiah, gue berangkat ke Derawan dengan membawa cash hanya 200 ribu saja. Bayangkan saja, Januari kemarin gue hidup di bawah garis kewajaran.

Inget trip gue ke Kiluan dengan perjalanan yang menyiksa badan? Nah, perjalanan dari Tarakan ke Derawan ini nggak cuma menyiksa badan, tapi juga otak. Kesalahan ada di gue dan teman-teman yang memutuskan menjelajah Derawan ketika musim penghujan. Jarak Tarakan-Derawan normalnya ditempuh selama satu setengah jam perjalanan menggunakan speed boat. Tapi kami melintasinya dengan waktu dobel, tiga jam terombang-ambing di tengah lautan tanpa tepian. Teman-teman yang awalnya ceria dan penuh canda, perlahan-lahan kehabisan energi. Gue sendiri yang belum tidur sejak hari sebelumnya, memilih tergeletak di lantai speed boat dan total tidur pulas!




Begitu sampai di Derawan, jadwal acara gue sama dengan kelompok tur lainnya. Pokoknya, weekend ini anak api puas-puasin ngadem di air deh. Segala acara banana boat, snorkeling, foto bareng ubur-ubur alien dari Kakaban dan ngejar ikan warna-warni di Maratua, semua udah gue lakoni. Namun terasa ada yang kurang. Apa karena mendung yang terus menggantung? Atau karena ekspektasi luar biasa akan kenikmatan mata begitu mendengar nama Derawan?





Apa pun itu, sebaiknya teman-teman tidak mengunjungi Derawan di musim penghujan.