Three Months After The Turbulence Day

  It's been some time since the turbulence day when his betrayal occurred. Yes, I want to focus on mending my broken heart. Yet I also want him to see and fix the damage he made. But I know better what he's capable of. And he is not capable of fixing it. He can't even fix his life. Otherwise, he will still be able to meet Selva. I've been jumping around. Moving out from place to place. Juggling between jobs. Still waking up with chest pain. Still wanna disappear. I'm not getting better. I'm just pretending. I'm not okay

Magical Spot: Kawah Putih


Suatu pagi gue membuka mata dan berkata mau ke Kawah Putih di Ciwidey. Lalu bahkan sebelum nyawa terkumpul, android gue siap mencari rute menuju lokasi tersebut. Mulai lah gue mencari kawan, satu-dua menyatakan berhalangan. Tiga-empat memutuskan terlalu hujan untuk sebuah perjalanan. Apa daya badai serotonin sedang berlangsung di otak gue. I cant think clearly, i just need to go. Now.


Maka pagi itu gue packing dengan tergesa-gesa, hingga meninggalkan kacamata di meja kerja. Tujuan gue cuma satu, berlomba dengan awan hujan sampai terminal Kampung Rambutan. So far so good, jam 7 pagi gue udah duduk di bangku penumpang dalam bis menuju Leuwi Panjang. Aslinya, ada travel Xtrans depan rumah gue. Tapi sekali lagi, ini adalah episode dimana gue harus melakukan segalanya sesuai dorongan impulsif salah satu bagian korteks otak gue.

Perjalanan lancar hingga di pintu Pasir Koja, salah satu bis yang mogok menyebabkan lalu lintas tersendat. Di saat itu, Mikail memutuskan hujan harus turun, memaksa gue mundur satu jam dari rencana semula. Hujan masih rintik saat gue berdiri clueless di terminal Leuwi Panjang. Berharap entah apa, berdoa tak tau apa. Dan selalu ada savior yang menyelamatkan hari. Seperti guide gue satu ini.

Pertemuan kami diawali dengan teguran: "A' ikut eneng dangdutan, yok.' Yakali. Jadi gue selalu diberi kejutan teman yang baik hati sejak memasuki suicidal club. Orang-orang yang, jujur gue pun nggak kepikiran akan rela menyisihkan waktu memuaskan kegilaan sementara gue. Dan nggak cuma waktu, si akang udah menyiapkan helm dan jas ujan buat jaga-jaga. Kami akan menuju Ciwidey dengan motor Kotaro Minami.

Si akang nanya, sejauh apa gue pernah traveling pake motor. Hahaha, ini kali pertamanya gue trip berkendara motor. Rasanya beyond fun! Kecuali bagian airmata terus mengalir karena lupa bawa kacamata. Di perjalanan ini pula gue baru sekalinya lagi ngerasain mie instan enak. Bisa jadi lo emang kudu melakukan perjalanan panjang untuk merasakan nikmatnya makanan. Walau tanpa itu pun, udara dingin plus mie instan selalu jadi best couple.





Untuk menuju Kawah Putih, pengunjung diwajibkan menggunakan kendaraan fasilitas situs. Menurut si akang, dua tahun lalu, motor masih boleh dibawa ke kawah. Tapi mengingat banyak kecelakaan, maka peraturan mewajibkan kendaraan pribadi untuk diparkir di pintu masuk. Setelah bayar tiket 28 ribu seorang, kami ikut ngantri mobil wisata berkapasitas 15 orang. Pun tidak banyak pemandangan yang bisa dinikmati selain kabut a la Twilight dan deretan pohon kayu putih. Dan sampailah kami di Kawah Putih.

Tempat ini ajaib. Berbeda dengan Kawah Ijen yang dipenuhi asap penyulingan belerang, di sini bau belerang hanya sesekali tercium. Kemudian, hamparan danau berwarna susu itu sungguh membuat nafas tertahan. Warnanya yang cantik, kabut yang turun dengan lembut dan batang-batang pohon tak bernama membentuk komposisi menyatakan saat ini gue tidak berada di dunia manusia. Entahlah, rasanya... magical. Sesekali, timbul buih dari air menyatakan bahwa kawah ini masih beraktivitas.

Dalam diam gue menatapi Kawah Putih dan berbisik, 'halo, kamu cantik sekali.'