Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Days in Jogja - Time Travel


Udah menjelang magrib dan Benteng Vredeburg sudah selesai beroperasi. Gue memuaskan diri motoin Monumen Serangan 1 Maret dan gedung BNI berlatar langit merah. Maklum di Jakarta jarang liat langit walaupun langit menaungi setiap saat. Itulah sebabnya gue suka moto langit di luar Jakarta. Tetap mengikuti arah keramaian, gue berjalan ke alun-alun utara tanpa tau itu adalah alun-alun utara. Arena permainan di Pasar Sekaten yang kebetulan lagi digelar menarik perhatian gue. Terakhir kali jaman esde gue mendatangi pasar malam rakyat macam ini. Sisanya, gue merasa didnt fit in.

Nggak berubah, dari dulu pun jenis permainan yang dinaungi Diana Ria Enterprise ini menampilkan permainan yang sama. Ada rumah hantu yang bau pesing, tong maut dengan desingan suara motor plus bau bensin serta ayunan ombak yang menarik perhatian gue. Sebenernya bukan si wahana yang menarik, tapi atraksi akrobatik yang dilakukan oleh sindang-sindang ketika mengaktifkan permainan tersebut. Setelah tiga putaran hanya nonton, di putaran selanjutnya gue memutuskan ikut naik.


 

Gue bertanya-tanya, mereka ini, umurnya pasti nggak jauh dari gue. Sejak umur berapa mereka mempelajari atraksi ini? Bagaimana proses rekrutmen mereka? Lalu, bagaimana hidup meereka kalau tiap malam harus forsir energi seperti itu? Daftar pertanyaan ini bertambah panjang begitu gue merasa they really enjoy their job. Ikut berjoget di sela-sela lagu yang nyampahin telinga gue, saling bercanda, tertawa, menggoda, rasanya hampir dua tahun lalu gue bisa into pekerjaan gue dan melakukannya sambil tersenyum. Kenapa mereka tampak bahagia dan bangga dengan pekerjaan mereka?