Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

lluvia #18

'Lewat tengah malam. Syaraf-syaraf di otak saya menolak beristirahat. Padahal saya sudah terbangun sejak jam 3 pagi kemarin. Iya, saya memang minum kopi moka sore ini, sesuatu yang saya tau pantang dilakukan kalau mau tidur nyenyak. Namun tidur saya tidak pernah lagi nyenyak. Ada sesuatu yang tidak bisa dimatikan dalam otak saya. Pertanyaan kenapa manusia bisa berubah?

'Dua hari ini hujan. Entah kenapa selalu hujan tiap kali lelaki itu menuliskan kata yang menyakiti saya. Sejak dua tahun lalu, hujan selalu turun. Lelaki itu terus menyakiti. Orang dengan tingkat self esteem rendah seperti saya, pastinya mengerut dan berkata: mungkin salah saya, mungkin saya membuatnya terpojok hingga ia menyakiti saya. Orang dengan kecenderungan bipolar seperti saya pastinya punya perang yang tak pernah berakhir, seperti bagian otak yang berteriak-teriak mencari keadilan.

'Tapi dunia adalah tempat yang tidak adil. Apalagi bagi perempuan, terutama bagi saya. Tidak cukup saya menyalahkan diri sendiri karena mencintainya, orang lain pun meneriakkan kalau itu kesalahan saya. Atau, saya berpikir saya bersalah karena orang lain menilai saya bersalah? Looking glass self. Dan lelaki itu, terbebas dari beban kesalahan. Karena opini publik yang beranggapan adalah wajar lelaki mempermainkan perempuan. Perempuannya aja yang bodoh karena mau dipermainkan.

'Well, I was in love. I am in love. Jika lelaki itu meminta saya menelan empedu, saya akan melakukannya. Selama ia bersedia tetap di sisi saya. Hahaha, ironis. Bahkan saat ini saya bisa mendengarnya berkata jika ia tidak mempermainkan saya, jika ia tidak memanfaatkan saya, jika ia tidak berbuat jahat, jika ia tidak berbuat salah. Apakah selama ini saya berhalusinasi? It takes two to tango. Mungkin saya memang membodohi diri saya.'

Gadis itu mengangkat wajah dari selembar tissue yang ia tulisi dengan sebatang pensil. Aku berusaha menemukan guratan airmata. Namun airmatanya sudah mengering. Malam-malam ketika satu kata dari si lelaki dapat membuatnya menangis telah menghabiskan airmatanya. Oh, aku tau ia masih menangis, tapi kali ini lebih menyedihkan. Karena ia menyembunyikan airmata itu di balik senyuman dan ucapan sinis.

Bagaimana manusia bisa berubah? Rasanya gadis itu tau jawabannya: karena rasa sakit yang teramat sangat.