Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

lluvia #17

Dia datang di hari hujan. Duduk di tepi jendela dan memainkan sebatang rokok diantara jemarinya. Tanpa dinyalakan. Wajahnya kosong, tidak ada kecewa, marah, sedih atau gundah. Hanya lelah. Aku lantas menduduki kursi di depannya.
'Apakah sudah berakhir?' tanyaku.
Ia belum lagi melihat ke arahku saat angin kencang menampar kaca di hadapannya. Bibirnya menggoreskan senyum samar. Tidak tau apa yang hendak ia ucapkan. Hanya lelah.
'Saya lelah. Rasanya seperti mengejar bayang-bayang. Jika saya berhenti sekarang, apakah ia akan merasa lega?
'Saya punya cerita ini, cerita lama yang selalu terkenang saat hujan. Cerita tentang seorang lelaki yang datang dan membagi kesenangan. Yang lalu menghancurkan hati dan hidup saya. Yang merenggut keluguan saya. Yang lantas merasa semua hanya bagian dari permainan. Pengisi waktu luang.
'Cinta saya, hati saya, perhatian saya, segalanya, seakan tak pernah berarti untuknya. Mungkin memang benar tidak berarti. Kalau begitu kenapa ia menanggapi?'
Gemuruh guntur sambar-menyambar. Aku mendengarnya meratapi nasib. Kisah sama, tentang lelaki yang sama. Yang ia pikir ia cintai. Yang ia pikir balas mempedulikannya. Kalau tidak peduli, pastilah semua ucapan si lelaki palsu belaka.
'Setengah tahun berlalu. Kami berjauhan, pun kata-katanya masih menyakiti saya. Seperti kura-kura kebingungan. Di dekatnya dan terbakar, atau menjauh dan tersiksa rindu.' ia berkata lagi.
Aku tidak pernah memahami hatinya. Jika terluka, kenapa masih merasa cinta? Jika menderita, kenapa tidak mencoba mencari bahagia? Lelaki itu mungkin memang sekedar mengisi waktu luangnya. Aku tidak mau menebak, berulang kali bertanya kenapa.
'Mungkin memang ini jalannya. Mungkin ia pun tidak tau akan berujung seperti ini. Mungkin saya hanyalah, ah tidak, saya bukan siapa-siapa. Tidak pernah menjadi siapa-siapa.
'Luka saya, airmata saya, tidak pernah ada dalam cerita hidupnya.'
Ia membuang rokok yang sedari tadi hanya berputar di jemarinya. Menginjaknya kuat-kuat hingga tandas.
'Katakan pada saya, bagaimana ada lelaki macam itu?'
Ku pikir aku mendengarnya, namun suara tersebut keluar dari otakku. Aku yang sedang melukai diri dengan dalih cinta.

Hujan belum lagi berhenti.