Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

lluvia #17

Dia datang di hari hujan. Duduk di tepi jendela dan memainkan sebatang rokok diantara jemarinya. Tanpa dinyalakan. Wajahnya kosong, tidak ada kecewa, marah, sedih atau gundah. Hanya lelah. Aku lantas menduduki kursi di depannya.
'Apakah sudah berakhir?' tanyaku.
Ia belum lagi melihat ke arahku saat angin kencang menampar kaca di hadapannya. Bibirnya menggoreskan senyum samar. Tidak tau apa yang hendak ia ucapkan. Hanya lelah.
'Saya lelah. Rasanya seperti mengejar bayang-bayang. Jika saya berhenti sekarang, apakah ia akan merasa lega?
'Saya punya cerita ini, cerita lama yang selalu terkenang saat hujan. Cerita tentang seorang lelaki yang datang dan membagi kesenangan. Yang lalu menghancurkan hati dan hidup saya. Yang merenggut keluguan saya. Yang lantas merasa semua hanya bagian dari permainan. Pengisi waktu luang.
'Cinta saya, hati saya, perhatian saya, segalanya, seakan tak pernah berarti untuknya. Mungkin memang benar tidak berarti. Kalau begitu kenapa ia menanggapi?'
Gemuruh guntur sambar-menyambar. Aku mendengarnya meratapi nasib. Kisah sama, tentang lelaki yang sama. Yang ia pikir ia cintai. Yang ia pikir balas mempedulikannya. Kalau tidak peduli, pastilah semua ucapan si lelaki palsu belaka.
'Setengah tahun berlalu. Kami berjauhan, pun kata-katanya masih menyakiti saya. Seperti kura-kura kebingungan. Di dekatnya dan terbakar, atau menjauh dan tersiksa rindu.' ia berkata lagi.
Aku tidak pernah memahami hatinya. Jika terluka, kenapa masih merasa cinta? Jika menderita, kenapa tidak mencoba mencari bahagia? Lelaki itu mungkin memang sekedar mengisi waktu luangnya. Aku tidak mau menebak, berulang kali bertanya kenapa.
'Mungkin memang ini jalannya. Mungkin ia pun tidak tau akan berujung seperti ini. Mungkin saya hanyalah, ah tidak, saya bukan siapa-siapa. Tidak pernah menjadi siapa-siapa.
'Luka saya, airmata saya, tidak pernah ada dalam cerita hidupnya.'
Ia membuang rokok yang sedari tadi hanya berputar di jemarinya. Menginjaknya kuat-kuat hingga tandas.
'Katakan pada saya, bagaimana ada lelaki macam itu?'
Ku pikir aku mendengarnya, namun suara tersebut keluar dari otakku. Aku yang sedang melukai diri dengan dalih cinta.

Hujan belum lagi berhenti.