Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

date, then run.

Saya pernah kok pacaran. Dua kali. Pertama saat menunggu pengumuman masuk UI. Saya bertemu pemuda ini di tengah gerimis. Ia menyodorkan tangannya, menyebutkan nama. Kelak, ia berucap, itu bukan pertemuan pertama kami. Ia mengingat saya ketika masih berseragam sd, upacara MOS di SMP kami.
Saya menikmati sosoknya yang berlari-lari mengejar bola. Sore itu matahari masih bersinar terik. Saya bisa membedakan ia dari bocah-bocah SMP lainnya. Ia memiliki tahi lalat di tengah leher belakang. Saya tergila-gila padanya. Padahal hanya tau nama dan wajah. Seisi sekolah tau, tapi saya memang tidak menyembunyikannya. Lantas di tahun kedua, kami duduk sekelas. Dan saya tetap menatapnya dari kejauhan.
Ia pun menghilang. Tahun ketiga dan tahun pertama di SMA kami tidak berjumpa. Saya (tidak) melupakannya. Dekat dengan satu, dua, tiga teman lelaki. Tidak ada yang seperti dia. Ketika berjumpa lagi, kami telah berubah. Namun rasa di hati saya tetap ada. Hingga akhirnya kami bersama untuk sekejap.
Saya ketakutan. Tak pernah menyerahkan hati untuk orang lain. Menatap padanya yang tak layak saya bawa ke rumah, berjumpa dengan keluarga. Saya ingin lari dari dia. Tapi ia bilang cinta. Saya tidak merasa apa-apa. Lalu kami berpisah. Ia marah. Saya (tidak) jera.
Lantas saya masuk UI. Menaruh kagum pada beberapa lelaki. Tapi tak pernah sampai hati. Hanya mengalihkan rasa kantuk ketika suntuk. Saya pergi bersama satu, dua, tiga lelaki. Si tangan gurita, si jago taekwondo, si bocah tampan dari kampus sebelah, si doraemon bertemu di kereta, si anak D3 panitia OKK. Sekali kencan, lantas saya bosan.
Buku menarik saya mendekat, tak ada lagi lelaki yang lekat. Kecuali satu. Kami bertukar pesan sepanjang tahun. Tapi duduk diam ketika bersapa, saling menatap, menerakan kenangan. Menilai, diakah orangnya?
Kadang saya menghilang, tenggelam dalam buku, mengurung diri dalam perpustakaan. Kadang ia menghilang, berpacu dengan basket dan futsal, atau melirik perempuan di kost sebelah. Kami sama-sama merasa kehilangan. Hingga akhirnya memutuskan bersama.
Saya jadi serakah, ingin dia untuk saya saja. Waktunya, tawanya, senyumnya, pikirannya, hatinya. Milik saya. Hanya saya. Ia tidak bisa. Kami berpisah. Saya marah. Ia gerah. Kami beda arah.
Saya tak lagi sama. Ia merenggut sebagian hati saya. Memporakporandakan jiwa saya. Saya berubah. Waktu kembali berjalan. Saya bertemu satu, dua, tiga orang. Tak pernah sama. Tak pernah bersama. Makan malam canggung, percakapan kering, tawa dibuat-buat. Ada lubang di hati saya yang tak bisa ditutup apapun.
Saya pikir begitu sampai saya mengenal uang. Dan kenikmatan yang ditawarkan ditiap lembar rupiah. Dan lezatnya hasil keringat yang dibayar tiap akhir bulan. Saya kecanduan. Ingin terus punya pekerjaan.
Suatu hari, saya menemukannya di sebuah studio di Menteng. Mendengar gelak tawa yang kelak saya rindui. Menatap sepasang mata yang mampu menenggelamkan saya. Memperhatikan tangan yang kelak saya genggam. Saya jatuh cinta. Ia (tidak) sempurna. Namun memilih untuk melupakannya.
Takdir menyimpan rahasia, bercanda dengan manusia sesuka hati. Satu, dua, tiga bulan kami bertemu lagi. Saya menjabat tangannya saat ia menyebutkan nama. Memulai pagi dengan empat huruf 'halo' darinya. Saya mabuk. Mabuk dia.
Kami bertukar kata, cerita, masa lalu, masa depan, kecintaan. Saya menikmati kecerdasannya, tawa renyahnya, ekspresi jenakanya, saya lupa diri. Ingin berlari kepelukannya. Tak peduli nyata atau dalam mimpi. Saya ingin memilikinya.
Kami hanya kebetulan berada di atas setapak yang sama. Tak pernah bersisian. Kadang berdekatan, saling menatap. Bertukar senyuman, impian, rencana masa depan. Tidak ada saya dalam masa depannya. Tidak ada dia dalam masa depan saya. Kadang kami bersentuhan, lalu masing-masing lari menjauh. Sekali saling merindukan. Kebanyakan menyembunyikan.
Satu, dua, tiga tahun. Saya pergi mengejar mimpi. Satu, dua, tiga bulan, saya menangis merinduinya. Lalu sadar membodohi diri. Tapi tetap tak mau berhenti. Saya meminta pada Tuhan, berikanlah ia pada saya. Sayangnya, saya tidak kenal Tuhan dia, dan dia berprasangka pada Tuhan saya. Kami tak pernah bersama.
Saya belum berhenti jatuh cinta pada (kenangan akan) dia. Pun ada satu, dua, tiga lelaki datang mendekat. Si anak baru lulus SMA, si pekerja lepas yang ternyata tetangga, siapa saja tak mampu mengalihkan saya dari dia.
Saya merasa ada yang salah. Saya menginginkan sesuatu (dia), tapi Tuhan menjauhkan saya dari dia. Tentu saja Tuhan tau, kami tidak baik untuk satu sama lain. Saya (masih) berusaha berdamai dengan kehendak Tuhan. Saat Ia membentangkan jarak, mengubah hati.
Saya pernah kok pacaran, dan saya tidak mendapat manfaat apapun darinya. Mungkin saya kurang mahir. Mungkin itu cara Tuhan menjaga saya. Karenanya, saya berterimakasih. Pada Tuhan dan mereka yang masing-masing menggenggam kepingan hati saya.
Published with Blogger-droid v2.0.10