Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

lluvia #10

Hari ini tidak hujan. Saya menatap punggung lelaki itu saat dia berucap 'deal with it or leave it' dengan lagak tak acuh.

Saya masih menatapnya, mencari-cari binar mata yang dulu saya puja.

'Saya nggak suka 'berjuang'' lanjutnya.

'Saya,' dalam kalut saya berucap, 'kalau saya tidak berjuang, kamu tidak akan pernah bertemu saya yang sekarang.'
'Kalau saya tidak berjuang, saya tidak akan merubah nasib saya.
'Kalau saya tidak berjuang, kamu tak kan pernah tau rasa saya.'

Ia tidak bereaksi kecuali senyum tipis yang dipaksakan.

'Kalau semua orang berpikir seperti mu, tak kan ada yang namanya kehidupan.'

Saya membalas 2 kalimatnya berkali-kali. Dia mungkin mendengar, tapi tidak mendengarkan.

'Kamu, apakah hidupmu sudah sempurna sejak kelahiranmu? Hingga terlihat salah cara hidup saya di matamu.
'Saya, jika tidak menyuarakan isi kepala, apa gunanya memiliki otak?
'Saya selalu mempertanyakan keadaan. Karena jika tak ada yang berubah, pasti ada yang salah.'

'Kamu, jika kamu tidak berjuang, kamu tidak akan berada di sini.
'Kamu, apakah sudah menjelajahi selusur kota dan melihat mereka yang berjuang untuk hidup tiap detiknya?
'Kamu mungkin tuan muda yang mulia, yang memiliki segalanya, tak pernah merasakan pedih kecuali karena cinta. Tapi saya, cuma rakyat biasa, yang dengan bodohnya memuja mu, hingga dipandangi dengan nista.'

'Kamu yang tak pernah merasakan susahnya bertahan hidup, semoga selalu bahagia. Rasa saya untukmu, tak pernah direkayasa.'

Belakangan hujan tak kunjung turun. Mungkin karena alih-alih merasa sedih, saya justru merasa kecewa dengan isi otak dan hati lelaki itu.

Walau tetap saja, hati saya tak lepas menatapnya.