Jakarta malam hari, hujan. Sisi jalan protokol Gatot Subroto. Kumpulan playlist musik 90an. Cahaya lampu kendaraan berkejar-kejaran. Ratusan jiwa tumpah ruah di jalan, menuju rumah. Gue ada di antara mereka. Dengan perut kosong dan otak dipenuhi 2 konsep pemotretan.
Apa hidup itu kudu gini yah? Tiap hari pergi berlomba dengan naiknya matahari. Seharian memeras pikiran dan tenaga buat kerjaan. Kelelahan pulang tanpa sempat menikmati senja. Lalu, manusia itu nyari apa sepanjang hidupnya?
Gue selalu mempertanyakan hidup gue. Mempertanyakan apa yang sudah dan yang akan gue lakukan. Kadang gue nemu jawabannya. Tapi pas gue terbentur pada pertanyaan yang sama di waktu berikutnya, jawaban gue tadi udah nggak valid lagi.
Entah untung apa nggak, ternyata bukan cuma gue yg mempertanyakan hidup. Satu orang temen gue juga begitu. Malangnya, dia bahkan belum menemukan apa yang ingin ia lakukan dalam hidupnya.
Gue? Gue selalu bilang, saat ini gue sedang menjalani salah satu dari 5 dream job gue. Mantan bos gue, sekali pernah ngomong: jadi wartawan nggak akan bisa kaya, kamu Shin. Waktu itu gue jawab: kaya kan gak cuma diukur pake materi, pak. Saya mau kaya hati aja. Kaya ilmu, kaya pengalaman, sesuatu yang nggak akan pernah habis dan kalau dicuri orang, kita malah dapet berkah.
Belakangan, gue nemu pertanyaan lagi: kenapa hidup gue terikat pada dunia? Apa gue salah jalan? Apa gue mulai terlepas dari mengingat Tuhan?
Manusia itu tempatnya lupa. Saking asiknya kerja keras, gue suka mikir hasil yang gue dapet ini karena pemikiran dan perbuatan gue. Baik ataupun buruk. Kadang gue suka tanpa sengaja meniadakan campur tangan Tuhan.
Ah, Jakarta diguyur hujan selalu bikin gue punya waktu untuk berpikir. Menganalisa hidup gue. Ngitung-ngitung amalan buat akhirat. Inget mati. Inget, biarpun abstrak, ada kekuatan besar yang campur tangan dalam kehidupan gue.
There is no such thing as coincidence, just God's hand in a greater plan.
Sejenak, mari kita merenung.
Shinta.
Comments
Post a Comment