Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

The Open Door

Mari bicara soal kesempatan. Pepatah lama mengatakan kesempatan gak datang dua kali. Tapi apa lantas kita ambil aja kesempatan apapun yang datang?

Beberapa hari belakangan ini gue bertemu dengan dua orang teman. Walau berbeda waktu, keduanya membahas hal yang sama: kesempatan. Gue langsung bilang: kesempatan itu dibuat, bukan ditunggu. Sementara mereka bilang gimana cara membuatnya?

Sedikit cerita, gue selalu suka pada seorang cowok, dan gue selalu mencari kesempatan untuk bertemu. Dari mulai sering ijin ke toilet biar bisa liat itu cowok di ruang kelasnya, datang telat supaya dihukum bareng, bawa dasi dua biar bisa dipinjemin ke dia. Pokoknya gue do anything to make him know my existence. Nah, gue nggak menunggu hari dimana kami tiba-tiba berpapasan dan ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Hasilnya adalah saya sempat bersama dengan cowok ini.

Terserahlah kalau gue dibilang agresif gak punya malu. Gue cuma merasa hidup ini terlalu pendek untuk menunggu-nunggu. Dasarnya gue emang keras kepala, gak cuma jaman puber aja ilmu mengejar kesempatan itu gue pake. Sekarang ini di separo akhir umur 20an, gue masih senang mengejar kesempatan. Terutama buat kerjaan.

Awalnya masih sama, membuat diri kita eksis. Poin-poin apa yang bisa kita jual dari diri kita? Kembangkan itu dan tonjolkan. Buat orang lain (terutama calon user/klien) aware akan kebisaan kita. Gue sendiri nggak bisa apa-apa. Cuma bisa sedikit nulis, sedikit styling, sedikit moto, dan yang lainnya juga sedikit-sedikit. Kalau lo bisa fokus akan talenta lo, itu akan lebih menjual. Gimana caranya bikin diri kita eksis,  sekarang udah gampang. Buka aja akun di semua jejaring sosial. Tebar jala, dapet ikan.

Setelah orang aware, mulailah menjalin networking. Untuk sebagian orang ini gampang, mereka yang terlahir dengan jiwa flamboyan dan senang bersosialisasi pasti punya banyak kenalan yang menguntungkan. Buat gue ini sulit. Gue termasuk orang yang praktis, cuma menghubungi kalau ada keperluan. Mungkin bakal muncul pikiran: 'lo ngehubungin kalau ada perlunya doang.' Tapi yah, biasanya gue menghubungi orang buat ngasih kerjaan. Jadi sama-sama untung lah.

Kalau udah punya networking, yah dikembangkan. Contoh kecil, gue sekarang mulai sering liputan konser untuk sebuah majalah dari pulau seberang setelah dikenalkan sama teman perantauan. Gue sering ikutan foto prewed setelah ikutan ngegarap foto prewed sepupu. Baru saja gue juga mendadak jadi stylist (yang tentu saja bikin gue kelagapan kalang-kabut).

Kesempatan itu nggak datang dengan sendirinya. Semua merupakan hasil dari kerja keras dan kesiapan kita. Kalau sekarang gue dikasih modal bikin majalah sendiri pun, bakal gue tolak, karena gue belum siap. Tapi gue sudah mulai bersiap-siap. Kesuksesan adalah kesempatan bertemu kesiapan.

Adalah seorang lelaki yang berkata: Saya diam di tempat, memberikan kesempatan.