Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Perjalanan Halusinasi ke Dataran Tinggi


Sudah sejak lama saya merasa harus pergi ke dataran tinggi ini. Bahkan sebelum saya bisa pegang kamera, cuma karena beberapa halaman di buku sekolah jaman SMP. Lalu ketika akhirnya akan berangkat, cuma satu kekhawatiran saya, akan sedingin apa di sana?
Maka saya sibuk mencari informasi dan bertanya sana sini. Seumur hidup tinggal di Jakarta, jujur saja saya lebih bisa mengatasi cuaca panas dibandingkan udara dingin. Semakin dekat keberangkatan, ketakutan semakin menjadi-jadi. Akhirnya, jika kamu menengok isi ransel saya dalam perjalanan ini, kamu akan menemukan: sweater, sweater, sweater, kaus kaki, kaus kaki, shawl, shawl, sarung tangan dan tiga sachet Tolak Angin cair plus madu. Iya, saya tidak salah ketik, memang segitu takutnya saya kedinginan di Dieng.

Perjalanan kurang lebih 17 jam dari Jakarta hingga homestay. Keliling sekitar penginapan, memantau area Candi Arjuna yang akan jadi lokasi Dieng Culture Festival, foto-foto, lanjut ke Kawah Sikidang, foto-foto, Menuju Dieng Plateau Theater, foto-foto, menuju Batu Pandang, nyasar malah ke Telaga Warna, foto-foto. Man, i cant get enough with taking picture, but please never make me your personal photographer, you cant handle my grumpy mood.

pabrik awan di Kawah Sikidang

Telaga Warna
 Malam dilanjutkan dengan main lampion di area Candi Arjuna dan bagi yang berminat boleh nonton Jazz Di Atas Awan. Sebelumnya semarak kembang api lumayan menerangi langit malam yang sudah dipenuhi lampion warna-warni. Saya cukup kedinginan sehingga memilih minum segelas kopi yang langsung dingin begitu diajak menyebrang jalan.
pelepasan lampion

pesta kembang api
 Kalau kamu serius mengejar matahari terbit di Bukit Sikunir, sebaiknya kamu bangun jam 2 atau paling telat jam 3 pagi. Bungkus badan kamu rapat-rapat karena udara malam akan menusuk sekali bahkan kaki saya pun nggak bisa dihangatkan walaupun sudah dibungkus dua selimut. Dari awal saya sadar pakai denim di gunung cuma akan menyiksa kaki, yet i still wear it, in fact it was my only pants for three days in Dieng. Sebelum kamu bilang saya jorok, sebaiknya kamu cuci dulu jeans yang menggantung di balik pintu kamarmu ;).

Pengejaran saya menuju puncak Sikunir jelas sudah digagalkan oleh teman-teman seperjalanan yang akhirnya baru bisa berangkat jam setengah lima. Bukannya bermaksud menyalahkan, tapi kemarin itu saya tidak dalam kondisi yang memungkinkan untuk berangkat tanpa kalian. Maka dalam perjalanan kali ini saya melepaskan segala ekspektasi. Dan hasilnya cuma foto-foto di bawah ini.

sunrise

sunrise lagi

tetep sunrise