Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Senja di Pagi Hari

Tetesan hujan sisa semalam belum lagi selesai berjatuhan. Tak disangka darimana, butiran air ikut menuruni pipi. Ia menangis.
Aku tidak yakin rasa apa yang berkecamuk dalam dadanya. Ia tersenyum, pun matanya berucap lain. Tampak padanya, hari-hari ini ia akan kehilangan arah.
Sepanjang pagi ia menanti senja. Merindukan semburat merah di langit Jakarta. Merenggut satu hari lagi dimana ia hanya merasa luka.
Aku sadar ia lemah. Segala yang ia perlihatkan hanyalah tameng baja untuk melindungi dirinya. Seperti kura-kura dengan tempurung. Membawa rumah kemana pun ia pergi, namun tidak pernah merasa punya rumah.
Kali ini ia lelah. Meski menolak untuk kalah. Hatinya terus menangis, otaknya meronta-ronta ingin bahagia. Aku khawatir akan datang harinya ia ingin lenyap.
Jangan dulu lelah, jangan dulu kalah. Karena kita tidak membutuhkan sesiapapun untuk bahagia. Cukup Dia dan jalan hidup yang dituliskanNya.
Seharusnya tidak terlupa. Rasa ini, apa gerangan artinya?

Comments