Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Sendiri

'Tidak pernah,' ucap bapak tua berseragam putih dengan tatapan menenangkan.

'Serius tidak pernah? Masa sih ada orang yang tidak pernah berpikir untuk bunuh diri -setidaknya sekali dalam seumur hidupnya?

'Tentu saja.'

'Tidak mungkin.'

Saya kenal seseorang yang kerap terserang rasa ingin mati. Jika serangan itu datang, seperti ada susunan syaraf yang terputus. Ia menatapi urat nadinya dan membayangkan koyakan panjang membujur di lengannya.

Dadanya sesak. Airmata mulai menggenang di ujung mata. Ia tidak mau mati. Tapi rasa ingin mati tidak kunjung hilang. Ia menggapai-gapai. Namun tidak ada yang datang menolong. Suaranya tercekat, menatap gelap di hadapannya. Ia tidak tau caranya meminta tolong.

Saya tau, ia hidup seperti itu, sepanjang umurnya. Ingin mati, namun tidak ingin mati. Tidak ada yang mengerti. Begitu pun dirinya sendiri. Ia merasa kalah. Tidak ingin lagi berusaha. Semuanya percuma.

Di ujung hari, ia akan ditelan kesepian. Suaranya, tidak sampai di hati. Ia ingin pergi.
Saya pernah bertanya padanya, 'kenapa kamu tidak pergi sendiri?' Ia menjawab lirih, 'karena saya butuh alasan untuk kembali. Jika sendiri, saya akan terus pergi.' Ia tidak punya tempat untuk kembali. Kemana pun pergi, tak kan ada orang yang mengerti.

Saya mengenal satu orang seperti itu. Ia duduk bertatapan dengan saya dari dalam kaca. Sendiri.