Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

i was, supposed to, born to make you happy

Saya punya hati yang sangat lembek. Gak bisa memaki dan gak bisa dimaki. Rasa sakit di hati karena tertoreh kata-kata rasanya nggak bisa hilang. Lalu begitu dimaki, akan membalas dengan makian yang tidak kalah pedas. Membuat hati saya makin sakit.
Adalah seorang tua yang selama lebih dari seperempat abad tidak pernah memuji saya. Selalu menemukan celah dalam kesuksesan saya. Di matanya, saya tidak pernah memuaskan. Lantas saya pun jadi tidak pernah puas akan diri sendiri. Kami tidak pernah sependapat akan apapun sejak saya bisa mengingat.
Tapi saya tidak mau menyakiti hatinya lebih jauh lagi. Dia dan perempuan yang selalu mendampinginya. Saya seharusnya maklum dengan segala pengetahuan saya tentang orang tua ini. Bagaimana ia dibesarkan, bagaimana ia membesarkan adik-adiknya. Dan sekarang anak-anaknya. Saya harusnya paham bagaimana karakternya.
Namun saya sudah terbiasa hidup untuk diri sendiri. Membagi kesenangan dan kesedihan hanya di atas kertas. Dan saya merasa tidak layak untuk dimaki, diperlakukan seperti layaknya lalat. Membuat saya merasa tidak diinginkan. Membuat saya kemudian menjauh dan menutup hubungan. Saya harusnya lebih rendah diri dan penyayang. Tapi bagaimana bisa saya menyayangi kalau saya tidak pernah disayang?
Saya mencari tempat, sebuah tempat yang bisa menjadi rumah. Sungguh saya tau, kita tidak melarikan diri dari keluarga. Karena darah lebih kental daripada air. Saya ingin kembali. Bukan karena saya lemah apalagi merindu. Lebih karena tak kuasa membayangkan wajah tua mereka berkerut sedih. Terlebih jika saya yang menjadi penyebab kesedihan dan kesakitan itu.
Sejak mulai berpikir, saya selalu berpikir bagaimana caranya untuk menyenangkan mereka. Rasanya semua tidak berhasil. Menjadi juara kelas dan olimpiade IPA tidak membuat mereka bangga. Kuliah di universitas ternama dan mendali-mendali Taekwondo tidak menarik minat mereka. Melakukan pekerjaan rumah tangga dan menyokong keuangan keluarga tidak memuaskan mereka. Saya tidak tau bagaimana membahagiakan mereka. Karena saya tidak tau bagaimana bentuk kebahagiaan itu.
Jika suatu hari saya bisa kembali, saya ingin membuat mereka tertawa dan tersenyum. Tanpa gurat sedih dan luka pada wajah mereka. Masalahnya, saya tidak punya jalan untuk kembali. Hati saya terlalu tersakiti.