Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

Two Ways Monologue

'Saya mau cerai' ucap perempuan akhir dua puluhan di depan saya. 'Kami memang tidak menikah karena cinta. Ah, kami memang tidak menikah. Saya cuma ingin perlindungan dan rasa aman.'
'Lalu?'
'Sebenarnya tidak perlu bercerai. Karena kami tak pernah menikah. Saya tidak punya rasa.'
'Lantas apa lagi?'
'Saya punya anak. Kami punya anak. Saya tidak mau berpisah.'
'Kamu tidak menikah, tapi punya anak. Lalu ingin berpisah. Tau kah kamu, dengan status seperti ini, kamu tidak bisa menuntut apa pun dari lelaki itu. Tak ada hitam di atas putih. Tak ada pertanggungjawaban.'
'Itu saya tau. Saya tidak ingin berpisah. Tapi saya tidak bahagia. Ia tidak bahagia. Anak kami mungkin tidak bahagia.'
'Kalau berpisah apakah kamu bahagia?'
'Keluarganya menerima anak saya. Namun saya tetap terasing.'
'Kalau berpisah apakah kamu bahagia?'
'Saya tidak akan bahagia. Dan saya juga tidak ingin ia bahagia. Saya tidak mau merawat anak kami sendiri.'
'Manusia memang egois. Lalu kebahagiaan siapa yang akan kamu bela?'
'Saya ingin bahagia. Tidak boleh kah?'
'Lepaskan apa yang membuatmu tidak bahagia. Dengan begitu baru kamu bisa bahagia.'
'Kalau saya melepaskan dia, dia akan bahagia, sementara saya tidak.'

Kami saling bertatapan. Ia tidak mencintai lelaki itu, ia hanya tidak ingin sendiri. Lalu masih ada anak. Bagaimana nasibnya kelak?

'Bagaimana nasib anak saya?'
'Kamu berhak atas anakmu. Setiap ibu yang baik berhak atas anaknya. Boleh saya bertanya, apa kamu bisa bertanggung jawab atas kehidupan anakmu? Tidak cuma material, tapi juga pendidikannya sebagai manusia.'
'Mungkin saya sanggup. Saya pikir ia tidak akan bahagia jika anaknya saya bawa.'
'Ia lelaki. Ia (bisa saja) tidak peduli.'
'Saya tidak akan bisa bertemu anak saya lagi jika saya tinggalkan bersama keluarganya.'
'Tapi apakah pikirmu itu hal terbaik untuk anak itu?'
'Mungkin saya bisa memberikan lebih baik.'

Tidak ada ibu yang mau berpisah dengan anaknya. Tidak untuk alasan apapun. Hingga seringkali lupa, anak itu juga ingin bahagia. Perempuan itu belum lagi menetapkan hatinya saat menatap ke dalam cermin dan pergi.