Apa Kabar, Bo?

  Apa kabar, Bo? Kemarin saya ke Gramedia. Sanctuary saya pas jaman SD. Dulu waktu Hero Swalayan masih ada di Gatot Subroto. Biasanya saya ke sana setelah ngumpulin duit jajan seminggu dan bisa buat beli komik. Ngga seperti sekarang, dulu banyak komik yang sampul plastiknya terbuka, jadi saya puas-puasin baca sebelum akhirnya beli cuma satu.  Jaman itu majalah Bobo tidak setipis sekarang. Apalagi pas edisi khusus, tebalnya bisa ngalahin kamus. Hahaha, bercanda ya, Bo. Bobo benar-benar teman bermain dan belajar saya, ada beberapa dongeng dunia yang sampai detik ini saya masih ingat. Ada juga dongeng lokal yang jadi favorit saya. Mungkin penulis Bobo sudah lupa, ada sebuah cerpen, yang memuat cerita ibu petani yang asik bekerja hingga anaknya kelaparan. Saya ingat ada syairnya: tingting gelinting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan. Saya kemudian meniru syair tersebut dan dimarahin Mama. Beliau bilang, ngga pantas didenger orang. Oh ya, Bo. Mama adalah orang yang berjasa...

lluvia #3

Aku menatap takut pada layar ponselku. Seakan-akan benda kecil itu bisa meledak sewaktu-waktu. Deretan nomor yang sama berulang kali ku ketikan.

'May I call u?'

Ah, tidak. Belum dua puluh empat jam aku menuliskan akan bertahan diam. Mungkin juga hanya aku yang merasa kalau kami punya urusan yang tertunda. Urusan yang takkan pernah selesai.

'May I call u?'

Aku menatap nanar pada rintik hujan. Selalu hujan saat aku bersedih. Selalu hujan saat aku mengingatnya. Ada lubang besar menganga dalam hatiku. Rasa tidak ingin terbiasa tanpa dia.

Nekat, aku menekan tombol panggil. Sungguh, aku berharap panggilan ku akan terabaikan. Satu nada panggil. Kakiku terpaku. Dua nada panggil. Rintik hujan mulai membasahiku. Tiga nada panggil. Ada rasa perih menjalar dalam dada.

Lalu akan terdengar suaranya. Beberapa kalimat basi akan meluncur dari mulutku. Tak pernah tau harus berkata apa. Suaraku pastinya bergetar, begitupun kakiku. Aku hanya ingin mendengar suaranya. Menyuruhku menyudahi kegilaanku. Atau menyuruhku berteduh dari hujan. Atau memakiku. Atau mengasihaniku. Atau menghakimiku. Atau mengerti aku.

Apapun. Hanya suaranya. Bercampur dengan deru hujan. Hanya suaranya, memanggil namaku. Hanya suaranya.

Aku masih berdiri dalam hujan. Diseberang sana, nada panggil masih terdengar. Hujan takkan pernah menghapus lukaku.

Comments