After five minutes
business meeting (that’s sarcasm, of course), saya bergegas bertemu dengan
calon Menteri Pariwisata (this one, isn’t
sarcasm) yang akan menampung saya selama semalam. Layaknya teman yang baru
sekali berjumpa dan melanjutkan hubungan
via online, kami punya banyak cerita untuk di-
update dan konfirmasi. Tepat jam 12 malam, saya dengan terpaksa
harus tidur.
Bangun tergesa-gesa keesokan paginya, saya berpacu dengan
jarum jam yang menunjukkan pukul 4:40. Cuma ada 20 menit untuk mengaplikasikan sunscreen, eyeliner, brow mascara,
mengenakan jilbab dan sepatu. Tuan kamar ikut terbangun dan mengamati kesibukan
saya dengan setengah nyawa. Kami berpamitan tepat pukul 5:00.
And that’s my man guide,
waiting uneasy on his Kotaro Minami’s motorcycle. Mungkin karena gelap,
atau kacamata, ia tidak sadar saya melambai-lambai di depannya. Mungkin ia
pikir saya penampakan.
Kami bahkan tidak sempat berbasa-basi. Segera setelah saya memasang helm dengan
benar, kami melaju menuju Dago Atas. First
stop: Tebing Keraton.
Awal perjalanan, angin langsung menerpa wajah saya yang
melaju dikecepatan kadang-kadang 60km/jam. Saya tentunya buta Bandung dan hanya
tahu kami menyusuri Dago menuju Tahura. Si akang sempat bilang, ‘deket kok, ke
atasnya.’ tapi sejak 2007 saya yakin dekat versi orang Bandung bisa melebihi 10
kilometer. Lagipula saya sudah sibuk menoleh kanan-kiri menikmati Bandung di
minggu pagi.
Kami sempat sekali salah belok di pintu masuk Tahura,
sebelum kembali ke jalan yang benar. Medan yang dilalui tidak main-main. Dari
mulai jalan sedikit rusak, jalan rusak, jalan tiba-tiba mulus dan jalan rusak
parah, membuat saya bersyukur si akang didampingi motor yang tangguh. Bukan
berarti di jalan licin dan berdebu itu akang tidak mati-matian mempertahankan
motor agar seimbang dengan saya yang jumpy
di belakangnya.
Tanjakan-tanjakan
terjal harus kami lalui menuju Tebing Keraton dengan dua alasan yang berbeda.
Akang penasaran karena postingan social
media, saya gatal karena sudah sebulan terkurung di Jakarta. Alasan lainnya
biarlah kita kesampingkan saja. Sepanjang perjalanan, ada banyak motor yang
satu tujuan dengan kami dan beberapa mobil. Lebar jalan membuat saya makin jumpy tiap kali berpapasan dengan mobil.
Lebih kurang 45 menit, kami sampai di pintu pertama Tebing
Keraton. Di sini motor dimintai biaya retribusi sebesar IDR 5000. Perjalanan
masih berlanjut hingga ke tempat parkiran motor dan pintu masuk a la kadarnya
ke Tebing Keraton. Berdua, kami membayar IDR 22000. Sudah banyak tim pencari
matahari dan timelapse yang menunggui
kameranya. Tim selfie juga tidak mau
ketinggalan menyelinap sana-sini dan membuat beberapa orang (baca: saya)
jengah.
Saya tidak langsung mencari moment untuk difoto (dan kemudian diunggah di Path), akang masih
capek jadi saya menemaninya ngobrol sejenak. Minat memotret baru muncul saat
dari sisi kanan ada cahaya hangat menyapa pipi saya. Jepret, jepret, jadilah
foto seadanya buat jejaring sosial. Lantas sekalian saja saya mengambil
beberapa momen lain serta ikut antri di spot sejuta umat yang sungguh
membahayakan.
Dari batu karang di ujung tebing, bergantian para pengunjung
berfoto. Dari yang berpose berani, hingga pose
takut-takut. Saya pilih pose yang
aman, saking cari amannya, saya tidak memoto penampakan sepatu trekking saya karena takut jatuh. Dari
pada kaki, saya lebih memilih ikutan trend selfie.
Anyway, it takes 10 months to get another selfie with akang, there’s no way I’m
gonna waste it.
Setelah mengisi perut di warung terdekat dan minum bandrek
yang terlalu manis untuk diminum, perjalanan dilanjutkan mencari nasi beras
hitam. Mungkin ada di daerah Punclut, Ciumbeluit, saya bukan ahli Bandung, akan
direvisi setelah nanya akang. Mungkin karena lapar, udara dingin, lelah, mungkin
juga karena teman makannya, sajian brunch
yang disediakan terasa nikmat. Saat itu saya terpikir kalau sudah lama tidak
makan seenak ini.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Tangkuban Perahu karena
saya bilang saya belum pernah ke sana. Tepat ketika adzan dhuzur berkumandang,
kami sampai di parkiran Kawah Ratu. Selesai laporan dengan Sang Penguasa, saya
kepincut topi boneka yang urung dibeli, lalu duduk lagi mendengar akang bercerita, sebelum
kembali memoto beberapa spot.
Rencana ke Kawah Domas terpaksa digagalkan karena kami
diharuskan menyewa guide. Melepaskan
kepenatan dan asam laktat yang mulai mengikat otot, kami beristirahat di lokasi
penyewaan tikar di antara pohon-pohon. Dari kejauhan saya ingin menimpuk
pasangan yang sedang pamer keintiman. Hampir pukul 15:30 sebelum akhirnya kami
turun ke Kota Bandung.
Tidak selancar perjalanan naik, saat turun kami berbarengan
dengan banyak bis pariwisata yang menimbulkan kemacetan dan penyempitan jalan.
Baru di jam 16:00 kami sampai lagi menuju Pasupati. Saatnya untuk kembali ke
Ibukota karena pemandu saya akan menunaikan tugas lain. Saya belum mau pisah
pulang. But that’s it, there’s always a
good bye. Waktu menunjukkan pukul 16:55.
I hate to admit it,
the quote is applicable. In life it’s not where you go. It’s who you travel
with.