Suatu hari di meeting point menunggu media pit Jamie Cullum, seorang teman bertanya. 'Kak, JJF taun ini, siapa yang mau lo tonton?' Senyuman langsung muncul di wajah gue. Ini, akhirnya gue menjejakkan kaki di JJF. Dan bukan karena alasan yang jazzy.
'Lebih tepatnya siapa yang mau gue liat sih.' jawab gue membenarkan. Si teman sudah paham. Gue gak mengincar satu musisi pun untuk dibidik dengan kamera. 'Oh, si fotografer idola lo itu yak?' Gue tertawa berderai hingga menarik perhatian beberapa mas fotografer.
'Yang mana sih kak orangnya?' tanya si teman. Lalu tanpa diduga, seorang fotografer mengacungkan jari, disusul fotografer lain di sebelahnya. Gue makin tertawa geli. Bukan. Fotografer idola gue punya aura yang lebih menawan dari mereka.
'Tuh udah ada yang ngacung. Yang mana kaak?' kali ini, hampir sebagian penunggu barisan menoleh. Gue terpaksa meminta si teman untuk mengecilkan volumenya. Lalu dia ada di sana, fotografer idola gue. Dengan lagaknya yang santai dan Nikon sahabat setianya. Senyum ramah dan tatapan bersahabat yang tidak lepas dari wajah tampannya.
Berbilang tahun sejak terakhir kami saling berbicara. Pun gue selalu mencuri dengar percakapannya dengan siapapun dan merekam suaranya dalam ingatan. Nada rendah yang selalu terdengar diucapkan dengan senyum. Ia ada di sana. Seperti biasa, gue hanya menatap dan merasa cukup.
'Barusan orangnya lewat.' Gue kembali menebar senyum. Kali ini bukan hanya si teman yang celingukan penasaran, tapi juga beberapa fotografer yang terang-terangan nguping. 'Itu, yang pake baju official.'
'Banyaaak yang pake baju official!' protes si teman. 'Oh, iya ya? Tapi di mata gue kok cuma ada dia yah?' Hahaha, kalimat barusan membuat gue kena timpukan botol bekas minuman. Tapi, memang seperti itu. Media pit konser apapun, selalu sosok itu yang pertama gue cari.
Entah kagum atau ingin bersama, gue cuma ingat senang rasanya saat dia mendatangi gue sekedar untuk menyapa. Dan segala kata lenyap dari kepala. Lagi-lagi, gue terpana.
Comments
Post a Comment