Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

Double Standart

Nggak, gue gak mau bahas soal feminisme. Ini sebenarnya mau berbagi soal standar gaya hidup. Di balik alam sadar kita, mungkin ada bagian otak yang menyadari kalau gaya hidup kita berubah, standarnya meningkat (atau menurun), dan ini secara langsung berpengaruh pada pola perilaku kita.
Jadi, sejak kebagian nulis review restoran bertahun-tahun lamanya, gue mulai sadar akan satu hal ini: gue semakin picky dalam hal tempat makan. Bahkan untuk urusan convenience store pun gue gak bisa asal dapet. Padahal dari kecil, emak gue udah mengakui kalau gue termasuk yang pilah pilih urusan makanan.
Gue sendiri baru menyadari kemarin selama di Jogja. Iya gue udah dapet banyak wanti-wanti supaya nyoba makan di angkringan dan lesehan. Tapi somehow gue gak bisa. Bahkan mendekatinya aja rasanya segan. Lalu yang paling klimaks, gue gak bisa makan gorengan abang-abang. Nyium baunya dan liat penampakannya pun bikin gue bergidik. Walau gue pernah merasakan enaknya makanan gak sehat itu.
Selain makanan, standar lain yang meningkat adalah outfit. Dulu gue cuma pake tas dan sepatu satu untuk selamanya. Kalau belum rusak parah gak bakal ganti. Sekarang, dengan banyaknya acara yang harus dihadiri, terpaksa punya sepatu ke pesta, sepatu hura-hura, sepatu berkebun, sepatu dan sepatu yang hanya dipakai gak sampe setahun sekali.

Lalu teman-teman. Entah bagaimana, sejak SD gue selalu bisa berempati dan sharing dengan teman-teman dari berbagai kalangan. Bertenggang rasa serta mengerti kalau nggak semua orang berpikiran sama dengan gue akan sebuah masalah. Makin gede, teman-teman gue makin sempit. Pergaulan luas, tapi homogen. Anak-anak media lifestyle. Otomatis bahasan dan gosip dan cara pandangnya akan masalah, mirip.
Ada masanya gue kangen berseloroh dengan abang-abang tukang potong rumput dan mbak mbak kantin di FISIP UI, abang tukang pempek yang mirip ariel, ob dan supir konyol di pantry ruko 2c. Segalanya yang membuat gue bisa melihat masalah nggak hanya dari satu sisi. Mendengarkan bagaimana tv sangat menghibur mereka, bagaimana ump 2,2 tetap terasa kurang, bagaimana agama sangat menjadi candu.
Gue yang selalu bilang bagian dari kaum proletar, kok gaya hidupnya nyaingin mereka yang terlahir borju. Padahal pendapatan masih di garis ump Jakarta. Tentu saja gue bisa menyalahkan semua itu pada pergaulan gue. Bahkan gue yang loner dan cenderung sociopath pun tetap terkungkung oleh bagaimana lingkungan menuntut gue untuk bersikap.
Gue kangen bisa melebur ke berbagai lapisan sosial. Masalahnya, gue waktu buat tidur aja kurang. Gimana mau bersosialisasi?