Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

After The Rain

Ini, gak mau nulis cinta-cintaan kok. Pun im madly in love with an idea of a man. Ceritanya pas jam 1 dini hari ini, gue terbangun dengan bentol-bentol merah di sekujur tubuh. Rupanya alergi udara dingin + debu masih nempel di badan gue. Seakan belum cukup meringis-ringis, malam ini, setelah hujan deras beberapa kali, sebagian besar rumah gue kebanjiran. Untungnya nggak sampe parah, walau tetap sekampung bangun buat menyelamatkan harta benda.

Sekitar jam4 pagi, baru gue bisa kembali tidur. Bangun-bangun udah jam 7 aja. Rencananya mau ke dokter buat ngobatin si alergi. Eh, kliniknya banjir lebih parah dari rumah gue. Hiks hiks gak jadi ke dokter, ini bentol-bentol gimana ilanginnya? Berhubung rencana ke dokter gagal, yaudah deh, mau ke kantor aja. Gak pake mandi. Tapi cek timeline dulu aah, pasti ada macet setelah banjir.

Iya, terjadi kemacetan merata di jalanan protokol Jakarta. Di mulai dari Gatot Subroto tempat gue nunggu bis menuju Thamrin. Titik genangan air di depan Balai Kartini, Benhil, Tosari, bikin kemacetan di Sudirman meluas hingga Pakubuwono, Slipi, Cawang, dll. Belum lagi, di daerah tersebut juga terjadi genangan air yang lebih tinggi. Herannya, di timeline banyak orang yang begitu berdedikasinya untuk tetap ke kantor. Ada yang rumahnya di Bogor, rela berangkat jam 5 pagi menuju Karet Sudirman. Ada yang dari PIK menuju Citywalk. Ada yang berjam-jam macet menuju Senayan. Ada yang setia nunggu CommuterLine yang mengalami gangguan.

Anggaplah, etos kerja gue itu rendah. Misal ujan sedikit besar dan gak bisa diterobos menggunakan hoodie, gue pasti memilih diam di rumah sampe hujan berenti. Daripada basah-basahan mengejar absen selamat di kantor. Apalagi banjir begini. Udah deh, gue ngerasa nggak layak macet-macetan di jalan dan sampai lokasi kerja dengan semangat buat balik lagi ke rumah. Maka, pagi tadi gue buka laptop dan siap bekerja dari rumah, sambil memantau perkembangan lalu lintas Jakarta melalui timeline.

Gue salut sih sama temen-temen yang tetap masuk kantor. Terlepas dia naik kendaraan pribadi, nebeng, angkutan umum, atau pintu kemana saja. Tapi, gue cuma gak paham, kenapa lantas ada sebagian dari mereka yang ngeluh di sosial medianya mengenai keadaan ini? Yah, Jakarta ini tuh begini. Banjir gak banjir, lalu lintas akan padat. Apalagi pas banjir? Banjir salah siapa? Sayang yang bisa disalahin cuma manusia aja. Karena cuma kita yang diberi akal, pikiran dan nafsu untuk berkembang.

Jadi kalau hemat gue tuh gini, lo ngerasa capek di perjalanan menuju kantor? Bisa jadi karena jarak rumah-kantor lo terlalu jauh. Setahun lalu gue biasa menghabiskan 90 menit menuju kantor di Kebayoran Lama. Pulangnya, makan waktu 2 jam. Lalu, karena nasib gue ada di tangan gue, pindahlah gue berkantor di Thamrin. waktu tempuh pagi hari cukup 45 menit + hampir selalu dapet duduk di bis kota. Waktu pulang? Men, cuma butuh 30 menit kadang-kadang!

Sepanjang perjalanan pun gue selalu bisa menikmati entah buku, lagu, tingkah laku penumpang lainnya, langit yang terkadang biru dan pengendara motor yang sering kali belagu. Sampai kantor, gue masih segar untuk lanjut bekerja hingga jam makan siang, dan senang-senang sambil menunggu jam pulang. Iya, ada masanya pekerjaan gue gak menyenangkan, bos mendesak-desak, deadline gak kunjung terpenuhi. Tapi, dalam hidup yang sekejap ini, masak sih, lo mau melakukan pekerjaan yang tidak menyenangkan? Menghabiskan waktu diperjalanan sambil berkeluh kesah?

Kalau kondisi lalu lintas Jakarta udah menekan syaraf otak lo, mungkin lo kudu cari solusi supaya hidup lo lebih bermakna, lebih layak dijalani. Kan katanya bumi Allah itu luas, rejeki nggak cuma dari satu perusahaan aja. Selamat malam, warga Jakarta, berapa lama kamu habiskan umur di perjalanan?

Comments