Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

On A Windy Day at Sabang

Hari ini anginnya lagi enak, dan lalu lintasnya pun lowong berhubung ada final Sea Games. Merayakan berakhirnya season Sagittarius, gue bersama Leo dan Virgo membuat janji untuk bertemu. Awalnya kami mau nyobain Yaudah Bistro, tapi pas gue sampe ke sana (as always, on time) menunya di dominasi si daging pork. Setelah sepakat pindah tempat, kami jalan kaki menuju Jalan Jaksa. Waktu menunjukkan jam 3 sore. Kami sudah terlambat untuk makan siang.

Rencananya mau ke Kopitiam Oey punya Morgan Oey, eh Pak Bondan, tapi dasar lapar mata, kami tertegun di depan Eatology. Lalu bolak-balik menu di depan kedai. I set my eyes on their pastas, Leo craving for sushi, Virgo takes anything. Setelah dirayu-rayu mas-mas Eatology, kami pun melangkah masuk sambil bilang: abis ini ke Kopitiam Oey. Hahaha emang masih muat perutnya?

AUS Sirloin Steak 95K



Crunchy Salmon Roll 48K

Spaghetti Aglio Olio Pepenero Tuna 42K


Setelah memesan menu sambil menikmati tayangan AFC, mulailah percakapan random tentang zodiak sampai sastra wangi. Eatology sendiri memiliki dua lantai, dan bagian smoking area yang apik di depan bar. Gue gak paham juga sih, tapi kebanyakan restoran menempatkan smoking area mereka di bagian terbaik. Keasikan bercengkrama terusik oleh sekelas anak SMP yang melakukan yearbook photoshoot. Kebetulan kami bertiga (pernah) kerja di media cetak. Jadi mulutnya usil ngomentarin setiap sesi foto yang dilakukan dengan kamera DSLR seadaanya itu.

Jam 5 sore akhirnya gelas-gelas tandas dan piring kotor telah diangkut ke dapur. Kami masih belum mau berpisah. Ada wacana tentang menikmati monas atau menyambangi tujuan semula, Kopitiam Oey. Karena nggak ada yang mau beranjak, akhirnya gue bangun duluan. Dua yang lain mengikuti. Lantas keluar dari Eatology, si mbak-mbak Eatology menawarkan permen mentos. Kontan gue langsung mengambil dan memakannya. Dari Eatology kami mengarah ke Monas. baru menjejak lima langkah, bahkan Mentos di mulut gue belum abis, pandangan mata kami tertuju pada kedai kecil nggak jauh dari Eatology.

Namanya Rumate, kedai yang didominasi warna merah dan segala slogan keep calm. Pandangan kami tertahan pada tulisan ketan srikaya. Yumm, rasanya air liur mulai membanjiri rongga mulut. Perdebatan kembali terjadi, walau aslinya kami bertiga condong ingin mampir. Kembali mendapatkan perhatian dan rayuan mas-mas Rumate, akhirnya kami memasuki kedai. Tiga cewek ini emang gampang dirayu nampaknya.

Menu makanan di Rumate kebanyakan masakan Minang dan sekitarnya. Dengan sajian snack yang biasa didapat di Taman Suropati pas pagi hari. Gue sendiri setelah menghantam steak di Eatology lantas tergiur Nasi Bakar Cakalang. Gue pernah ngerasain varian mie instan dengan rasa yang sama dan itu enaknya masih teringat oleh lidah. Jadilah gue memesan satu porsi Nasi Bakar Cakalang dengan nasi hanya setengah. Yang lainnya pesan Gulai Itik Lado Mudo dan Ketan Srikaya.
Nasi Bakar Cakalang 38K
Ukuran harga, rasa dan porsi di Rumate benar-benar bersahabat. Kami bertiga berulang kali bilang: coba tunggu lima langkah dulu sebelum masuk Eatology. Saking enaknya si Nasi Bakar Cakalang, gue sampe menghabiskan hingga yang tersisa di sendok. Rasa ikan dan sambelnya pas, aromanya mantap, sedikit nyesel gue nasinya cuma setengah porsi. Kedai yang cuma muat 30 orang ini lumayan ramai juga oleh keluarga-keluarga yang lagi plesir.

Jam 7 akhirnya menyusuri jalan Jaksa lagi, mata gue sih masih lapar lirak lirik kanan kiri. Mau mampir sana-sini. Hari ini udaranya enak hingga bikin perut moodnya bagus. Saking nyamannya cuaca, kami memutuskan lanjut ke Grand Indonesia dengan berjalan kaki. Tujuannya: Ron's Laboratory. Perjalanan yang santai ditemani angin sejuk dan lalu lintas lowong serta pasangan pacaran di bangku-bangku pinggir jalan bisa jadi baru kali ini gue rasakan di pinggir jalan protokol Thamrin.

Sempat (dan emang harus) mampir ke Gramedia, akhirnya kami ganti haluan menuju Chatime alih-alih tujuan semula. Karena, yah, gue gak bisa afford eskrim seharga 60ribu, itu lebih mahal daripada Nasi Bakar Cakalang dengan rasa dahsyat menembus lidah. Perjalanan di hari berangin ditutup dengan segelas reguler Hazelnut Choco Milk Tea dengan pearl. Well, i wanna do it again, fellas.