Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

Days in Jogja - Bukti Cinta


Hari ketiga di kota Jogja. Kali ini memutuskan ke Candi Prambanan dengan menumpang Trans Jogja. Dibanding Trans Jakarta, Trans Jogja lebih musingin jalurnya, halte dan armadanya juga lebih kecil. Plus trayeknya lebih jauh. Tapi entah kenapa harganya lebih murah. Astaga Jogja, apa uang tidak demikian penting bagi kalian? Kenapa semuanya murah-murah termasuk upah minimum provinsinya??

Setelah bermalam di rumah star, gue didrop di halte Trans Jogja daerah malioboro. Dari halte ini naik bis jalur 1A langsung menuju Prambanan. Rutenya emang lumayan jauh sampe sempet muter di bandara segala. Ini sih paling konyol. Sebenernya, dimana pun berada gue suka naik kendaraan umum. Gue jadi bisa tau karaktek penduduk lokal dan budaya setempat saat berbincang dengan sesama penumpang di bis umum.

Perjalanan jauh dari Malioboro ke Prambanan, cuma makan waktu satu jam dong. God bless Jogja. Nah dari halte Trans Jogja Prambanan ini, masih harus jalan menuju pintu masuk Prambanan. Menolak tawaran ojek, delman dan becak dengan senyum ramah, gue menggendong backpack menelusuri panasnya pinggir jalan menuju Prambanan.

Sampai di pintu masuk, ada dua tiket yang ditawarkan. Paket Ratu Boko-Prambanan, atau Prambanan aja. Gue beli Prambanan aja seharga Rp 30.000. Di sini juga banyak yang sewain payung dan jual topi. Kalau punya budget lebih, sebaiknya menggunakan salah satu dari kedua benda tersebut. Karena gue aja hampir semaput kepanasan dan dehidrasi di Prambanan. Untung dibekali cemilan dan minuman sama ibunya star. Hingga keluar dari kompleks Prambanan, cuma itu aja andalan gue.




Dari sisi Prambanan mengarah ke utara, gue bisa lihat Merapi ikut pamer kecantikannya. Sementara mas-mas guide yang disewa turis asing bercerita kisah Ramayana. Cerita tentang kehidupan gue 2000 tahun lalu (ngarang). Tapi kalau gue jadi Shinta 2000 tahun lalu, gue gak akan duduk anteng, merengek-rengek ke Rama buat dibawain kijang. Waktu denger bagian ini, gue jadi inget sama ibu-ibu pejabat yang dianggap salah satu penyebab terjadinya korupsi.

Lanjut cerita soal Roro Djonggrang dan Bandung Wonosobo. Gila yah, cewek tuh emang banyak banget muslihatnya. Bisa-bisanya Roro Djonggrang memperdaya ayam supaya berkokok. Menyebabkan jin-jin Bandung Wonosobo berhenti kerja karena dipikir udah pagi. Di sini juga ada mitos kalau pasangan pacaran nggak boleh berkunjung, karena bisa-bisa hubungannya putus. Ye keles deh, mak.

Abis dari Prambanan, ada semacam kereta wisata yang membawa pengunjung berkeliling ke segala candi di dalam kompleks tersebut. Kita bisa minta berenti untuk berfoto-foto sebentar. Cukup sebentar aja, soalnya kebanyakan orang yang naik kereta wisata ini udah kelaparan mau menuju pintu keluar. Kondisi gue sendiri udah memprihatinkan untuk jalan kaki menuju pintu keluar, jadi deh gue beli tiket kereta wisata Rp 7.500 dan duduk manis sampai pintu keluar.