Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

12 years and still nothing

Saya berjilbab sejak kelas satu SMA. Tanpa didukung siapa pun kecuali kelompok ngaji. Papa bilang tunggu kelas dua aja. Kan udah telanjur beli baju seragam tangan pendek. Mama bilang tunggu kerja aja. Nanti susah dapet kerjanya kalau pake jilbab. Kakak bilang jangan, nanti gak bisa dapet pacar. Nenek bilang jangan, nanti keliatan kayak nenek-nenek.

Tapi saat itu saya udah rindu banget menutup aurat, bertingkah laku layaknya muslimah, bertutur kata lembut dan merapikan ibadah. Saya nggak berpikir lama-lama. Suatu siang, saya mendatangi alumni dan meminta seragam SMAnya. Saya bilang, doakan, saya mau pake jilbab. Alumni saya itu tinggi, jadi segala baju, rok dan jilbab kepanjangan semua. Tetap saya pake, roknya saya lipet-lipet sampe saya keliatan gendut.

Pake jilbab itu susah. Jalannya jadi gak cepet. Keringetan melulu. Terus suka dikatain sok alim. Pun saya nggak kepikiran lepas jilbab. Bahkan pas saya lihat teman yang lepas jilbab, saya jadi nggak sanggup menatap matanya. Pake jilbab di SMA saya itu enak, lingkungannya kondusif. Rasanya hati saya jadi adem. Jilbabernya baik-baik, semua sayang saya, hehehe.

Terus pas kuliah bingung lagi. Soalnya saya seneng pake celana, jadi koleksi rok itu cuma seragam sekolah. Karena nggak punya duit, saya bikin rok dari sarung-sarung Papa. Pernah ada tukang ojek di stasiun Depok yang nyeletuk "Ya Allah, Neng. Sarung, abak lo cariin, dipake kuliah," hahaha saya jadi geli sendiri. Abis gimana dong, busana muslimah lebih mahal daripada sekedar beli kaos sepuluh ribuan di ITC. Ada juga masanya saya pake jaket ke kampus karena nggak punya baju tangan panjang.

 Lalu entah apa rencana Tuhan, dari awal kerja di media saya terus bergesekan dengan urusan fashion. Mulai dari jadi fashion stylist cabutan, sampe kudu liputan acara fashion. Saya mulai menyesuaikan diri, bukan karena kemauan, tapi karena ingin menjaga nama baik media yang saya wakili. Karena orang sering banget menyalahkan organisasi atas kesalahan satu oknum. Jilbaber (hijabers) sekarang udah enak. Nggak dijauhin pas duduk di angkot. Nggak dicap ekslusif pas nongkrong di mesjid. Nggak dibilang kampungan.

Kemarin saya ke acara jilbab-jilbaban, lalu ada yang nanya "Kakak jilbabnya bagus, beli dimana?" saya jadi tersenyum. Saya masih merasa busana muslimah kelewat overprice. Daripada beli jilbab seharga 80ribuan, mending saya simpen buat tabungan haji. Saya jawab "Ini beli kiloan di Cipadu. Sekilo kurang dari 40ribuan bisa dapet 4-5 potong jilbab 70cm." Saya emang nggak into fashion, dan tiap kali berpakaian, saya selalu berusaha untuk tidak menarik perhatian.

Saya ini orangnya praktis. Jadi nggak bakal beli barang yang nggak saya butuhkan. Ini berlaku juga buat makanan dan pakaian. Lagian karena acara kemarin saya jadi mikir, dua belas tahun pake jilbab, masih banyak banget peer saya dalam bersikap. Jangankan meneladani istri Rasulullah dan anak-anaknya, bersikap humble dan menebar ketenangan seperti kakak alumni, jugaan saya belum bisa. Udah berjilbab rapi dan terlihat baik di mata Tuhan, ingat juga jangan sampai ada manusia yang merasa teraniaya oleh kita. Saya kangen deh acara-acara siraman rohani yang bermakna.

Dari pengalaman kerja di media, packaging emang penting, tapi isi otak dan hati lebih penting lagi. Selamat menyambut Ramadan.

Ps: ini ditulis 2 tahun lalu.