Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

Headline (espresso & brewer) Today

Normalnya, saya bukan peminum kopi apalagi espresso. Nama kedai yang menggelitiklah yang membuat saya memutuskan memasukinya. Cuma ada 9 seat di lantai satu, walau saya juga nggak paham apakah ada lantai 2 dan seterusnya. Satu armchair hitam dengan balutan vignet bunga-bunga putih mengambil seluruh perhatian begitu saya membuka pintu kedai. Sebenarnya saya canggung. Keadaan kedai yang kosong tidak menghilangkan rasa canggung saya. Toh saya tidak berhenti menuju sofa hitam di depan bar.

foto: www.cikopi.com

Segelas hazelnut ice blended datang, disusul sepiring nachos. Menilai kedai yang baru buka dan tidak terlalu besar, kedua menu tadi terasa menyenangkan lidah saya. Nachosnya membuat saya teringat nachos istimewa racikan Casa yang letaknya tinggal lurus dari sini. dan hazelnutnya bolehlah dicoba. Lebih utama, di sini bebas asap rokok. Satu hal yang disayangkan, saya nggak bawa kamera untuk sok-sokan jadi foodblogger. Hahaha.

Semalam mantan kolega bertanya kepada saya, jadi freelance macam sekarang, apa ada jaminan untuk masa depan? Setengah tahun lalu saya punya tabungan masa depan. Sekarang tabungannya tinggal 200ribu karena beli kamera baru. Masa depan? Saya terlalu takut membahasnya. Setakut si manusia super idola saya yang tiba-tiba merasa sedih dan bingung. Hingga berucap ia merasa nggak berarti. Masa depan? Saya bahkan nggak tau apa yang terjadi di detik berikut setelah ini.

Seperti tiba-tiba saya terdampar di kedai kopi kecil dengan nachos yang enak. Lalu menulis rangkaian kata setelah berapa lama blog saya cuma diisi foto. Lalu menghubungi mantan editor karena JRL mengingatkan saya pada mbak-mbak yang saling menyakiti dengan saya beberapa waktu ke belakang. Kalau boleh ngomong, masa depan saya lebih absurd daripada si manusia super idola saya. Kerjaan, tabungan, dan jodoh saya masih belum keliatan. Sementara si manusia super seenggaknya punya saya kalau-kalau rencana hidupnya tidak berhasil. Bukannya saya mengharapkan itu terjadi.


Entahlah dengan masa depan. Setelah saat ini satu yang saya rencanakan adalah kembali lagi ke kedai kecil ini. Bukan untuk minum kopi, tapi untuk membeli suasana. Suasana yang mengetuk otak menelurkan kata-kata tak berarti. Meresapi keterasingan di tempat yang asing. Dan siapa tau saya akan mulai minum kopi, mempertaruhkan kesempatan tidur yang sudah langka.

Headline Espresso & Brewer
Jl. Kemang Utara no. 50