Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

prejudice


Sebagai pekerja lepas, saya mulai lebih banyak melakukan interaksi dengan orang rumah. Mereka yang kadang cuma sempet disapa sebelum berangkat beraktivitas dan sebelum tidur. Merasakan ini hampir sebulan, rasanya kemarin itu membodohi diri dengan bermacet-macetan di lalu lintas ibukota. Tiap pagi dan sore.
Ketika sedang bersosialisasi dengan masyarakat setempat (yang terus-terusan nanya kok saya gak kerja) saya mendapat sebuah temuan.
Suatu hari ada ibu rt yang bikin acara aqiqah sekaligus ulang tahun cucu laki-laki pertamanya. Karena keterbatasan dana dan ruangan, si ibu rt cuma ngundang temen arisan rt dan keluarga dekat. Acara pun selesai. Semua gembira. Hingga keesokkan harinya.
Ada seorang tetangga bergumam pada tetangga lain: 'bu rt marah apa yah sama saya. Anak saya nggak diundang ulang tahun cucunya. Saya nggak diundang aqiqahan juga. Apa marah karena saya nggak mau pindah?' (fyi, ibu ini ngontrak di kontrakan pak rt. Dan diminta pindah karena kontrakan mau dibenerin)
Cerita pun bergulir dari mulut ke mulut. Telinga ke telinga. Dengan pemahaman yang berbeda-beda dari penyampainya. Hingga ke anak si ibu rt. Penuh emosi si anak cerita ke ibu rt. Bahkan ditambah embel2 'pake jilbab kok kelakuannya gitu. Nyebar-nyebar ke kampung kalo papa marah ma die makanya gak diundang ke acara mama.'
Selepas kepergian si anak, bu rt tampak sedih. Dia bilang ke saya hal ini mengganggu pikirannya. Perasaan bersalah sekaligus kecewa. Kenapa dia sampai dipergunjingkan seperti itu? Didorong rasa kecewa ia berucap 'air tenang menghanyutkan. Orang diem-diem bisa bikin gosip juga'. Something you dont know wont hurt you. Andai si anak nggak bercerita penuh emosi, rasanya bu rt nggak akan sesedih ini.
Lain hari mereka tak sengaja berpapasan. Si ibu rt blg 'bu, saya nggak enak banget denger omongan ibu nggak saya undang karena pak rt marah masalah kontrakan. Enggak begitu, bu. Saya emang cuma ngundang temen arisan dan keluarga.' si ibu pun meminta maaf. Keduanya saling memaafkan. Apakah masyarakat setempat melupakannya, itu cerita lain.
Andai saja si ibu menahan prasangkanya. Andai saja si tetangga tidak menyebar pada tetangga lainnya. Andai si anak tidak bercerita penuh emosi. Andai ibu rt bukan orang sensitif dengan hati lembut. Kericuhan 3 hari ini tidak harus terjadi.
Tapi batu sudah dilempar. Riak yang ditimbulkan mungkin sudah menghilang. Namun batu tadi tetap tinggal di dasar air. Prasangka adalah hal yang paling cepat tumbuh dalam hati manusia. Jika tidak diatasi, ia akan membakar seperti kayu terbakar api.
Kita kan cuma manusia. Baik berhijab ataupun belum, kita menganalisa keadaan seperti yang kita lihat, dengar dan rasakan. Alangkah baiknya kita berbicara satu sama lain daripada membicarakan satu sama lain. Yang seperti itu, cuma menunjukkan siapa diri kita.
Btw, mereka juga mulai bergunjing soal kenapa shinta sekarang sering di rumah. Apa mungkin saya harus bilang, saya nggak mau lagi menjual waktu berharga saya untuk uang yang sedikit. Walau menurut saya it's nobody business.
Published with Blogger-droid v2.0.10