Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

Two Ways Monologue

'Saya mau cerai' ucap perempuan akhir dua puluhan di depan saya. 'Kami memang tidak menikah karena cinta. Ah, kami memang tidak menikah. Saya cuma ingin perlindungan dan rasa aman.'
'Lalu?'
'Sebenarnya tidak perlu bercerai. Karena kami tak pernah menikah. Saya tidak punya rasa.'
'Lantas apa lagi?'
'Saya punya anak. Kami punya anak. Saya tidak mau berpisah.'
'Kamu tidak menikah, tapi punya anak. Lalu ingin berpisah. Tau kah kamu, dengan status seperti ini, kamu tidak bisa menuntut apa pun dari lelaki itu. Tak ada hitam di atas putih. Tak ada pertanggungjawaban.'
'Itu saya tau. Saya tidak ingin berpisah. Tapi saya tidak bahagia. Ia tidak bahagia. Anak kami mungkin tidak bahagia.'
'Kalau berpisah apakah kamu bahagia?'
'Keluarganya menerima anak saya. Namun saya tetap terasing.'
'Kalau berpisah apakah kamu bahagia?'
'Saya tidak akan bahagia. Dan saya juga tidak ingin ia bahagia. Saya tidak mau merawat anak kami sendiri.'
'Manusia memang egois. Lalu kebahagiaan siapa yang akan kamu bela?'
'Saya ingin bahagia. Tidak boleh kah?'
'Lepaskan apa yang membuatmu tidak bahagia. Dengan begitu baru kamu bisa bahagia.'
'Kalau saya melepaskan dia, dia akan bahagia, sementara saya tidak.'

Kami saling bertatapan. Ia tidak mencintai lelaki itu, ia hanya tidak ingin sendiri. Lalu masih ada anak. Bagaimana nasibnya kelak?

'Bagaimana nasib anak saya?'
'Kamu berhak atas anakmu. Setiap ibu yang baik berhak atas anaknya. Boleh saya bertanya, apa kamu bisa bertanggung jawab atas kehidupan anakmu? Tidak cuma material, tapi juga pendidikannya sebagai manusia.'
'Mungkin saya sanggup. Saya pikir ia tidak akan bahagia jika anaknya saya bawa.'
'Ia lelaki. Ia (bisa saja) tidak peduli.'
'Saya tidak akan bisa bertemu anak saya lagi jika saya tinggalkan bersama keluarganya.'
'Tapi apakah pikirmu itu hal terbaik untuk anak itu?'
'Mungkin saya bisa memberikan lebih baik.'

Tidak ada ibu yang mau berpisah dengan anaknya. Tidak untuk alasan apapun. Hingga seringkali lupa, anak itu juga ingin bahagia. Perempuan itu belum lagi menetapkan hatinya saat menatap ke dalam cermin dan pergi.