Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

Komentator emang paling pinter

Menuju Depok, ujan, macet. Itu sih cerita lama yah. Gue sih seneng-seneng aja sama macet selama gue nggak keburu waktu. Tapi, ada juga orang yang mumet karena macet.

Kayak itu bapak di bangku depan. "Ujan sedikit, langsung macet. Ini pemerintah ngurus jalanan Jakarta aja nggak becus, gimana mau ngurus negara?" Ujarnya sama anak kuliahan apes yang duduk di sampingnya. Ngeliat potongan ini bapak, bisa jadi dia pensiunan pegawai pemerintah. Lalu, dia lanjut ngomentarin kebijakan pemerintah yang menurut dia nggak bijak.

Gue jadi keinget babeh di rumah. Sama enyak dan adek gue juga. Mereka kalau nonton tipi, ramenya minta ampun. Kalo babeh, pas nonton bola sama tinju. Berisik banget ngasih analisa sendiri. Harusnya si bek ke sini, si sayap ke sono, kipernya kemana. Hahaha, gue sampe bilang 'kalo papa yang di lapangan, jugaan papa gak bisa kayak gitu'.

Enyak sama adek gue juga sama. Doyan ngomentarin sinetron. Bedanya, kalo emak ngomentarin sinetron lokal semacam Tutur Tinular versi 2011, adek gue ngomentarinnya sinetron korea selatan, yang ada Jung Il Woo-nya gitu. Terus kalau mereka udah gemes nanya-nanya kenapa begini, kenapa begitu, gue cuma jawab: 'emang skenarionya kayak gitu dari scriptwriter-nya'.

Jaman sering nginjek matras pas kejuaraan Taekwondo, gue sering tuh dikomentarin senior: jelek banget performance lo. Gue pikir, wajar lah, dia ngomong gitu. Dia senior. Eh, taunya, penampilan dia 11-12 sama gue. Masih mending gue dapet mendali, senior gue ini cuma gigit jari. Dari situ gue mulai belajar, saat lo di luar matras, lo bisa mikirin beragam teknik tendangan dan tangkisan untuk atlet yang lagi tanding. Tapi, lain lagi ceritanya pas lo di atas matras. Ah, tentu saja jam terbang ikut mempengaruhi penilaian lo.

Lanjut, gue jadi inget acara Fashion Police di tivi lokal jaman dulu. Gue suka gemes juga liat si polisi tiap edisi cuma pake coat panjang warna item. Harusnya Fashion Police kan fashionable yah? Tapi kata chekka, fashion stylist gak harus stylish. Yah, dulu sih gue mikirnya, sebelum ngomentarin orang, ngaca dulu. Diri lo masih butuh dibenahi kagak?

Penampilan, baik appearance maupun performance, emang paling sering jadi bahan buat dikomentarin. Gue pernah bikin live tweet pas satu angkot sama cewek yang semuanya merah dan polkadot, sampe pantynya juga gitu. Gue juga suka gatel komen pas liat cewek ujan-ujan pake ugg boot. Bukan apa-apa, sepatu yang udah basah setengah itu bikin gak nyaman dan mengeluarkan bau tidak enak.

Gue juga sering dikomentarin. Apalagi kalo lagi pake skinny jeans. Pasti ukhti-ukhti gue bakal komentar: 'shinta, celananya ngepress banget. Mana bajunya ngga panjang lagi'. Atau pas gue pake heels, pasti dibilang tumben. Atau kalau gue pake baju berwarna cerah. Deesbe deesbe.

Sama kayak ukhti-ukhti itu, kalau ke temen yang gue kenal, biasanya gue langsung menyampaikan komentar itu. Dengan cara yang sopan tentunya. Dan gue nggak cuma komentar untuk hal negatif aja. Kalau temen gue pake sepatu bagus, yah gue bilang itu bagus. Tapi nggak begini: 'bagus banget sepatu lo, kemaren gue liat yang kayak gitu di taman puring. Cuma lima ribu'. Itu sih nyari musuh.

Seiring ketemu banyak ragam orang, gue paham kalau nggak semua orang suka komentar apalagi dikomentarin. Jadi kalau lo nggak siap buat denger komentar tentang diri lo, mikir dulu deh kalau mau ngomentarin orang lain. Dan kalau mau nyampein komentar, sampaikan secara baik-baik tanpa bermaksud cari musuh. Fyi, komentar nggak berarti ngeritik apa lagi ngasih saran, loh. Cuma sekedar komentar aja. No comment juga itungannya komentar loh, mba Dessy dan Agnes.


Cheers,
Shinta.

Gue sih, gak bisa sante klo denger komentar buruk tentang 2PM. Hehehe.

Comments