Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

Kerak Telor Buat Babeh

Gue nggak deket sama babeh. Atau sama enyak. Atau abang. Atau kakak. Atau adik. Atau siapa pun. Gue terbiasa sendirian. Karena semua orang di rumah gue terbiasa sendirian. Semua punya tipi dan dvd sendiri. Gue punya laptop. Babeh punya desktop. Semua sibuk sendiri.

Barusan, ada pikiran terlintas. Asik juga yah orang-orang bule yang bisa tiap saat bilang: I love u, mom. I love u, dad. Kayaknya budaya dimari kagak segitunya memperlihatkan perasaan. Seinget gue, gue belum pernah bilang 'I love u, mom' langsung ke enyak. Gue juga nggak pernah nulis gitu di social media. Soalnya enyak gak maen twitter atau facebook. Tapi gue masih suka meluk enyak. Sekarang, badan gue lebih gede dari enyak. Enyak bisa tenggelam dalam pelukan gue. Sebatas itu, tanpa ada kata-kata 'I love u, mom' atau apa pun.

Dalam ingatan kecil gue, babeh adalah raksasa. Suaranya menggelegar. Sorot matanya tajam. Temperamennya turun naik. Enyak dan kakak bilang, gue so babeh, dalam bentuk perempuan. Bedanya, babeh lebih vokal, gue lebih suka nulis. Kesamaan gue sama babeh banyak juga kalo diitung-itung. Babeh suka bikin cerpen-cerpen a la cerita silat Indosiar. Gue bikin cerpen cinta picisan. Babeh ngoleksi album Rhoma Irama sama Bang Ben. Gue punya kumpulan album Matchbox Twenty. Mungkin karena kami terlalu mirip, kami jadi sering bentrok. Kami jadi sering berpikir: 'kenapa Shinta nggak ngerti papa?' 'Kenapa papa nggak percaya saya?'. Kalau babeh nyuekin gue, gue cuekin balik. Kami bisa setahun nggak ngobrol. Padahal tinggal di satu rumah yang sama.

Sebenernya, babeh lucu. Logat Betawinya suka muncul. Babeh suka Tom and Jerry. Babeh suka bawain makanan kalau temen gue dateng. Temen-temen gue selalu komentar: babeh lo kocak. Tapi kalau inget babeh, gue inget raksasa. Ngeri, takut, dan selalu bikin gue ingin melawan. Ingin ngedemo babeh, kalau ini hidup gue, ini pilihan gue. Suka lupa, kalau babeh bukan musuh yang kudu dikalahin di akhir cerita.

Gue nggak bisa ngomong I love u, dad I love u, mom. Gue udah kebanyakan hidup dengan cara gue alih-alih petunjuk babeh. Akhirnya babeh berenti ngasih petunjuk kalau nggak gue tanya. Dan sampe sekarang, gue nggak pernah nanya apa-apa. Gue selalu bilang jamannya beda. Pengalaman babeh udah nggak relevan.

Babeh sering bilang, 'Shinta bukan anak Jendral, kalau mau apa-apa, Shinta harus usaha sendiri. Papa cuma bisa ngasih Shinta pendidikan'. Beh, sekarang saya udah bisa sendiri. Saya udah punya penghasilan dan karir sendiri. Tapi saya nggak bisa sendiri. Saya tetap butuh babeh.

Hehehe, gue nggak bisa ngomong gitu ke babeh. Gue cuma punya rencana, pulang nanti, gue mau beliin kerak telor favorit babeh ma enyak. Anggap aje kerak telor cinta.

Lots of love,
Shinta.

Comments