Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

Innocent until proven guilty

Beberapa waktu lalu, pas ada kecelakaan yang melibatkan murid-murid sma gue, di supir di-bashing abis-abisan di twitter dan kaskus. Sekarang, kejadian lagi sama pengemudi Xenia yang menewaskan 8 orang. Gue belum ngecek twitter sih, tapi biasalah, di kaskus udah dibikinin thread sendiri.

Pas lagi kuliah, gue sempet ngambil matkul Media Massa dan Kejahatan. Salah satu poin yang gue inget: media sebagai kontrol sosial. Biasanya sih ini mengacu pada: untuk memantau rezim yang sedang memerintah. Makanya tuh suka ada poling popularitas Obama atau SBY.

Pada dua kasus di atas, kontrol sosial yang dilakukan media (dalam hal ini kaskus dan twitter) nggak punya koridor yang jelas. Sebagian besar postingan nge-bashing 'pelaku'. Padahal, ini kecelakaan. Memang, pastinya ada pihak yang lalai hingga terjadi kecelakaan. Emang ada pasal juga yang mengatur ttg kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Dan kontrol sosial di sini (nge-bashing) ditujukan agar kejadian serupa nggak terulang lagi.

Tapi, coba bayangkan kalau kita yang berada di posisi si supir Xenia atau si anak sma. Kita lagi tertekan, kalut, ketakutan, guilty, tanpa harus di-bashing jugaan, kita terus-terusan berpikir 'how could this happen to me?' Belum lagi, media massa beneran kayak tv dan harian juga ngejar-ngejar dengan pertanyaan bodoh: kok bisa sih kecelakaan itu terjadi?

Daripada nge-bashing 'pelaku' (yang sebenernya juga korban) mendingan kita membesarkan hati keluarga korban. Lagian, kita sendiri nggak berada di TKP kan? Sekali lagi, kalau saat kejadian kita ada di TKP, apakah kita akan rela meminjamkan mobil untuk membawa korban ke rumah sakit? Atau, kita malah sibuk ngambil foto dan video untuk disebarkan di jejaring sosial?

Ngapain sih, nambah beban pikiran dan perasaan orang yang sedang terpenjara oleh rasa bersalahnya? Gue sering banget mikir gini sebelum komentar: gimana kalau gue di posisi dia?
Pasti sedih, disudutkan seperti itu, padahal gue sendiri nggak kepengen ini terjadi.

Karena anonim, orang-orang suka jahat dalam ngasih komentar. Mereka berani karena pake topeng.

Shinta.

Comments