Read This When You Want To Give Up

 I keep listing the reasons why I can't kill myself. And each day it gets shorter. Still, I live. Liking my job, taking care of others, set goals, and actually achieved it. All while still wanna die. So I try to understand, what's exactly in my brain. What's I'm looking for. What's the drive that gets me up every morning. Why I'm in constant pain. Maybe I'm just dramatic, a little bit melancholy. I know what I want is for the pain to stop. And I need to know where the bleeding is to stop it. What and who hurts me. Or No matter what and who, when and how, I need to accept and forgive. Forgive that I can't change the past, I can't change people. Accept that I only can control myself. To tough up and not let it hurts. Maybe this is not about me. Maybe the what and the who weren't aware that they hurt me. It's like a circle. While they tried to protect themselves, they unintentionally hurt others. The fact that I wanna die since 4th grade and sti

Reporter did what reporter does



" Kerjanya ngapain aja?"
Well, biar udah kurang lebih 3 tahun kerja di dunia media, gue masih sering dapet pertanyaan kayak gini. Reporter yah kerjanya reportase lah.

Berhubung gue kerjanya di majalah bulanan, jadi secara berurutan jobdesk gue adalah:

  1. Semua bermula dari rapat redaksi dan semenarik apa ide dan argumen buat rubrik lo. Gue selalu mikirin 'bulan depan mau nulis apa' sepanjang hari. Bahkan saat gue sedang mengerjakan edisi bulan ini. Supaya ide lo bisa direalisasikan, dasar penulisan harus kuat. Misalnya, gue mau nulis Chill Places tentang makanan pedes, karena cewek-cewek gak ada deh yang gak suka makanan pedes. Setelah tembus rapat redaksi, gue berkutat dengan mencari narasumber. Kembali contohnya rubrik Chill Places, gue kudu nyari restoran yang sesuai standar pembaca Gogirl! Standarnya kayak apa? yah kira-kira aja sendiri. Begitu dapet yang pas, gue langsung nelepon bagian marketing buat ijin peliputan. Kadang langsung oke, kadang kudu nunggu berhari-hari.
  2. Kalau udah oke, gue kudu ngatur jadwal dengan fotografer. Nggak jarang kudu rebutan dengan reporter lain. Sekali lagi, argumen lo penting banget di sini. Atau gue lebih suka meyebutnya 'kalimat persuasif'. Tinggal di Jakarta, lo bakal lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan daripada pas liputan.
  3. Selesai liputan, pastinya kudu ditulis. Kalau nggak apa gunanya jadi reporter kan yah? Nulis itu nggak susah. Nggak gampang juga. Dan bagi gue, menemukan kalimat pertama yang bikin lo langsung punya gambaran tentang sebuah artikel lumayan butuh waktu. Untuk menulis artikel yang kece, lo harus banyak baca. Jadi lo bisa memperluas khasanah kosakata dan wawasan lo soal isu-isu terkait.
  4. Beres bikin artikel, nggak berarti bisa santai. Dalam kurun waktu ini, gue udah mulai mempersiapkan materi untuk rapat redaksi. Mengira-ngira nulis apa buat bulan depan. Sambilannya, gue ngedit artikel yang udah jadi tadi. Maklum, kalo lo nulis buat media cetak, spare halaman dengan apa yang mau lo tulis sering nggak sejalan. Jadi lo kudu bikin tulisan yang singkat, padat, jelas, berimbang dan enak dibaca, dengan space terbatas. Kalau iseng, bandingin deh, tulisan di artikel yang udah jadi, dengan tulisan asli gue di postingan Porto!.
  5. Sambil ngedit di bagian desain grafis, sambil milih-milih foto yang gue rasa oke vs desain grafis rasa oke, sambil masih ngeliput juga nih. Karena tiap bulannya gue bikin 6 rubrik feature plus banyak event report. Still i have life to live.


Cheers,
Shinta, event goer & place hunter

Comments